Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun deras sore itu. Bel sekolah baru saja berbunyi, dan halaman SMA Negeri 5 berubah jadi lautan payung warna-warni. Aku berdiri di depan kelas, menatap langit yang kelabu sambil merutuk dalam hati. Seperti biasa, aku lupa membawa payung.
"Enggak pulang?" sebuah suara memecah lamunanku.
Aku menoleh. Arka, ketua kelas yang selalu rapi itu, berdiri di sampingku. Tangannya memegang payung hitam polos.
"Aku nunggu reda," jawabku singkat.
"Kalau reda, bisa besok, ayo bareng."
Jantungku berdegup aneh. Bukan karena ajakannya, tapi karena sejak lama aku menyimpan rasa yang tak pernah berani kukatakan. Arka adalah sosok yang selalu terlihat jauh: pintar, ramah, dan jadi favorit guru.
Sementara aku? Hanya siswi biasa, sering terlambat, dan nilai matematikaku tak pernah lebih dari tujuh.
Aku melangkah ragu.
"Nggak merepotkan?"
"Kalau merepotkan, aku nggak bakal nawarin," balasnya tenang.
Kami berjalan beriringan di bawah payung yang sama. Suara hujan seperti orkestra yang menutupi degup jantungku.
Aku bisa merasakan jarak tubuh kami begitu dekat. Sesekali lenganku bersentuhan dengan lengannya.
"Kamu selalu lupa bawa payung ya?" tanya Arka.
"Bisa dibilang begitu. Aku sering berharap hujan reda sebelum pulang. Ternyata nggak pernah seberuntung itu."
Ia terkekeh kecil.
"Atau mungkin hujan turun biar aku bisa pulang bareng kamu."
Aku terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi membuat pipiku panas. Berani-beraninya dia ngomong begitu. Aku tak tahu apakah dia serius atau sekadar basa-basi.
Hari demi hari, payung itu menjadi saksi. Di bawahnya, kami bercerita tentang mimpi kuliah, tentang guru killer, tentang musik favorit, bahkan tentang ketakutan yang jarang diungkapkan. Aku tahu aku mulai tenggelam semakin dalam.
Sampai suatu sore, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, aku memberanikan diri bertanya,
"Arka… kenapa selalu mau repot-repot nungguin aku?""
Ia menatapku lama, lalu menghela napas.
"Karena aku suka kamu."
Waktu seakan berhenti. Aku tercekat. Kata-kata itu terasa asing tapi juga begitu familiar, seperti doa yang diam-diam kusimpan.
"Aku tahu kamu mungkin nggak merasa sama, tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Setiap kali lihat kamu basah kuyup tanpa payung, rasanya aku harus ada di situ."
Aku menggenggam gagang payungnya erat-erat.
"Aku… juga suka kamu."
Hujan sore itu tiba-tiba jadi terasa hangat.
Namun, beberapa bulan kemudian, Arka harus pindah sekolah karena ayahnya dipindahtugaskan. Hari terakhirnya, hujan turun. Kami kembali berjalan di bawah payung yang sama, mungkin untuk terakhir kalinya.
"Hujan kan selalu turun di mana-mana. Jadi setiap kali hujan, anggap aja kita lagi pulang bareng."
Aku menggigit bibir, menahan air mata.
"Jangan lupa payungmu," ucapnya sambil menyerahkan payung hitam itu padaku.
Aku mengangguk. Dan sejak hari itu, setiap hujan turun, aku selalu membuka payung itu. Meski Arka tak lagi di sisiku, aku tahu ada bagian kecil dari dirinya yang tetap bersamaku.
Suatu sore, aku sedang berdiri di halte sambil membuka payung hitam itu. Seorang teman menepuk bahuku.
"Kamu ngapain, Rin?"
"Nunggu Arka, seperti biasa."
Temanku menatapku aneh.
"Arka siapa? Nggak ada anak di sekolah kita yang namanya Arka."
Aku terdiam. Payung di tanganku tiba-tiba terasa berat. Ingatan-ingatan bersamanya berkelebat: tawa, obrolan, genggaman di bawah hujan. Semua begitu nyata—atau setidaknya terasa nyata.
Aku menoleh ke kanan, ke sisi payung yang kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya aku, berjalan sendirian di bawah hujan.