Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Oktober berjalan seperti bilah waktu yang mengikis tanpa kompromi. Angka-angka di kalender merosot satu per satu, tak menunggu siapa pun. Jalan yang kutempuh kian menyempit, dan aku tidak tahu langkahku menuju ujung bahagia atau kembali ke pangkal luka.
Aku menoleh ke belakang. Ada jejak yang masih membekas: keputusan yang salah, kata-kata yang tak sempat ditarik kembali, dan wajah-wajah yang tinggal dalam ingatan. Beberapa membuat dada terasa sesak, sebagian lain justru menjadi alasan untuk tetap berdiri.
Enam kali kabisat berlalu, 9.489 hari mendekap, menemani kesendirian. Aku berhenti menghitung sejak lama, tetapi angka itu muncul lagi. Ia selalu masuk ke celah mimpiku. Ia mendatangiku dalam gelap, seolah mengingatkan cara waktu berputar. Kehilangan dan tumbuh menjadi satu bagian kehidupan yang tak terpisahkan.
Masalahnya, aku tak memiliki banyak kenangan untuk dijadikan alas, untuk digenggam sebagai semangat. Malam terakhir bersama Ibu, ucapannya masih jelas di telinga, bagai sembilu yang menyerat di bawah telapak kakiku.
"Besok pagi Ibu yang akan antar kamu ke sekolah. Cepat tidur!" ucapnya sambil membelai rambutku. Membisikkan janji semerdu sisa hujan di musim kemarau.
Namun, esok yang datang justru sebuah pengingkaran. Aku yang harus mengantar Ibu tidur. Untuk selamanya.
Ayah? Aku hanya mengenalnya dari album foto yang berkerak. Tidak begitu jelas. Lusuh dan buram.
Dulu aku mencarinya dengan marah, dengan rindu, dengan segala tenaga. Akan tetapi, pencarianku berakhir di atas pusara Ibu. Aku berhenti. Lelah. Menerima. Beberapa pintu memang sengaja menutup dirinya dari dalam. Tak akan terbuka jika pemiliknya tak ingin, sekeras apa pun aku mengetuk dan mendorongnya.
Seandainya Ibu masih ada, aku akan memaksanya menjawab pertanyaanku: “Mengapa dulu Ibu mau dinikahi Ayah? Mengapa Ayah tak pulang saat aku lahir?”
Aku tahu Ibu akan memberikan senyuman tipis, dan mengarahkan pandangan pada langit-langit yang mengelupas. Setelahnya, menjawab dengan alibi, merangkai kalimat-kalimat cinta. Ia juga akan berkata bahwa aku hartanya yang paling berharga. Sementara, tangisnya di belakangku tak pernah reda.
Wanita sebaik dirinya semestinya tidak bertemu dengan Ayah. Tak ada derita untuknya. Tak ada label jahat bagi Ayah. Tak ada yang pergi, sebab aku pun tak ada.
Hidup tak selamanya berdiri tegak seperti angka satu. Lebih seringnya, ia bulat seperti angka nol, berotasi dalam garis edar yang sama.
Kini, aku bertahan karena tak ada lagi yang bisa kulakukan selain itu. Dunia berjalan dengan wajahnya yang datar. Ia tidak peduli, tidak memberi jeda, tidak menanyakan kesiapanku. Kadang, ia melemparkan harapan, lalu menariknya kembali. Kadang, ia membiarkan aku berdiri sendirian di tengah keramaian. Tak ada tempat berbagi, tak ada yang mengelus pipi.
Dewasa, rupanya, hanya nama lain dari kesepian yang panjang. Ketegaran bukan pilihan gagah, melainkan cara berdamai dengan takdir.