Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mesin pendingin meraung rendah di balik pintu besi. Bau formalin merayap, menusuk ke tenggorokan. Lampu lorong berkelip sebentar, membuat lantai licin memantulkan bayangan yang terpotong-potong.
“Sur,” Dani berbisik, terdengar ragu. “Lu percaya penampakan?”
Surya berjalan di samping Dani. Langkahnya sangat tenang, nyaris tanpa bunyi. “Percaya,” jawabnya singkat. “Kadang yang mati belum mau pergi. Kadang yang hidup nggak sadar udah berhenti.”
Dani tertawa hambar, mencoba menepis suhu dingin yang menggerogoti tubuhnya. “Maksud gue penampakan kayak pocong, kuntilanak, genderuwo, dan sejenisnya gitu.”
“Lu sendiri percaya sama mereka?” Surya bertanya balik sambil membuka buku register. Tangannya sibuk mencatat, matanya menerawang seisi ruangan.
“Gue nggak percaya. Mereka itu hanya sisa-sisa bayangan di kepala kita. Wujud mereka hasil dari rasa takut yang berlebihan. Ilusi semata.” Dani menjawab dengan percaya diri, meski di setiap ujung kalimatnya terasa ada getaran.
Surya menoleh pelan. Senyumnya tipis, rautnya datar. Ia terus menghitung ulang jumlah jasad yang berbaring. “Tidak semua penampakan datang dengan rupa yang kita kenal. Bagaimana jika dia menampakkan diri dengan wujud yang lain?”
Dani menarik napas panjang. Ada yang merambat dalam dirinya, tetapi ia tutupi dengan pura-pura santai. “Kalau mereka benar ada, dan nampakin diri di depan gue, gue bakal masukin ke botol. Atau gue hajar sampe dia kapok nakut-nakutin gue.”
Surya menutupi buku register, merapikan kain putih dan loker. Ia melangkah keluar lebih dulu, dan Dani menyusul dengan tergesa. Pintu menghentak rapat. Lorong malam menyambut dengan senyap yang tak biasa, seolah semua kehidupan tertinggal di belakang.
Mereka terus berjalan. Suara sepatu bergema, tetapi anehnya ritmenya tidak sinkron. Ada yang terasa mengikuti, menempel di antara kaki-kaki yang berayun.
Di tengah lorong, Surya tiba-tiba berhenti. Tatapannya terkunci, kembali pada pintu kamar mayat yang terbuka setengah.
“Kenapa, Sur?” tanya Dani, memeriksa sekeliling dengan jari-jari saling menekuk.
Surya tidak menjawab. Ia berdiri membisu, tampak tak utuh, bagaikan bayangan yang lupa tuannya.
Dani melanjutkan langkah. Lorong terasa makin panjang. Dinding-dinding terasa makin menghimpit. Udara di sekitar pengap dan sesak.
Beberapa detik kemudian, ada langkah lain dari depan. Dani mendongak. Surya muncul, membawa dua gelas kopi dalam wadah kertas.
“Nih,” ucapnya ringan seraya menjulurkan tangan, “gue bawain kopi. Sorry, gue telat.”
Dani membeku. Perlahan ia menoleh ke belakang. Kosong. Namun, pintu kamar mayat masih terbuka —goyah sedikit, seperti baru saja dilalui seseorang.
Tangannya gemetar ketika menerima kopi itu. Gelasnya dingin. Tubuhnya menggigil.
“Ada apa, Dan?” Surya menepuk pundak Dani.
Dani kaku sesaat, menatap bayangan Surya yang berat. Ia lalu menyeruput kopi. Rasanya lengket dan getir, serta menyindir keberanian yang tadi diagung-agungkan.
Ia bungkam sepanjang malam. Pertanyaan-pertanyaan meluruh: mana yang nyata, mana yang hanya sisa.
***
Sinar matahari menembus kaca jendela, menyengat kulit. Dani bangkit dari tempat tidur sembari menggosok mata. Pengalaman semalam masih membekas di setiap napas. Hari berlari, siang kian menekan.
Ia membasuh muka, lalu menyeduh secangkir kopi. Berusaha menetralkan keadaan dengan meyakinkan diri bahwa semua hanyalah mimpi, atau mungkin gelombang lelah yang menjelma menjadi tipuan pikiran. Namun, rasa takut tetap menempel erat di dadanya.
Dani meraih ponsel. Bunyi notifikasi berdenting berkali-kali selama ia tidur. Pesan-pesan yang masuk menyampaikan kabar serupa: Surya mengalami kecelakaan semalam saat berangkat kerja, dan pagi tadi dinyatakan meninggal dunia.
Mustahil.
Kata itu menutupi layar, menenggelamkan logika, menelan segalanya. Dani memejamkan mata, menolak percaya, tetapi gema suara Surya bergaung jelas di telinganya: “Bagaimana jika ia menampakkan diri dengan wujud yang lain?”