Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu langit mendung, awan kelabu bergulung dari penjuru timur dan barat, pawana membantu mereka berlomba untuk berkumpul di satu titik daerah selatan. Tak kalah sibuk, jalanan di bawahnya penuh sesak oleh kendaraan baik beroda dua atau empat, para pengendaraan dibagian belakang mulai memenuhi udara dengan suara klakson dan gerutuan yang saling bersahutan, riuh dan kacau.
Sementara di ujung jalan, tempat semua kemacetan itu terjadi, suasananya berbeda jauh. Hanya bisik-bisik yang terdengar, seolah jika mereka bersuara keras, sosok yang terbaring kaku di bahu jalan sana akan terganggu. Getir, suram dan tragis kiranya begitulah kesan para pengendara yang ada di posisi terdepan kemacetan.
Para aparat bergerak cepat menghentikan laju kendaraan untuk sementara, sembari menunggu ambulan dan petugas bantuan lainnya datang. Wajah setiap orang di sana menampilkan ekspresi yang masam, menyampaikan keprihatinan dan belasungkawa dalam ratap sunyinya. Beberapa merasa mual karena melihat bahu jalan yang tergenangi warna merah pekat, beberapa warga lokal mulai mengais tanah untuk menutupi warnanya.
Anak-anak kecil sekitaran gang berdatangan karena penasaran, mereka menjulurkan leher lebih tinggi untuk melihat sumber kerumunan. Hingga berakhir tunggang-langgang sebab omelan para orang dewasa, sedang para remaja yang sedari awal ada di sana dengan niat nongkrong, terlihat mulai memanjatkan doa terbaiknya untuk mendiang.
Gerimis mulai berdesakkan untuk membasahi jagat, hanya rintik kecil yang akan hilang begitu sampai diujung jari, seolah mengatakan jika sang gegana ikut berduka atas satu lagi jiwa yang meninggalkan bumi dengan mengenaskan. Sedang pada sudut jalan, tempat bengkel motor berada, seorang petugas terlihat mengintrogasi pemiliknya, sebagai saksi mata.
"Bisa anda ceritakan kronologi tentang bagaimana mendiang bisa sampai terlibat kecelakaan?" Suara petugas terdengar tegas dan lugas, tangannya sudah bersiap untuk mencatat apa yang akan dikatakan lawan bicaranya.
"Yang saya ingat, mendiang akan membelokkan motornya ke arah kiri jalan untuk menyebrang. Tapi dari arah berlawanan sebuah truk datang dengan kecepatan tinggi, entah apa yang supir truk itu pikirkan hingga tak memelankan laju kendaraannya. Kami yang turut melihat tentu panik, apalagi mendiang yang berada diposisi berbahaya. Masalahnya pak, kami tak bisa lari begitu saja ke tengah jalanan yang padat kendaraan. Hingga tak sampai sepersekian detik, suara keras seperti sesuatu yang patah dan remuk mulai terdengar, darah merembes dari tempat mendiang sebelumnya berada. Dan tepat setelah mobil sedan yang datang menutupi pandangan kami berlalu, mendiang telah terbaring bersimbah darah dengan kepala dan motor yang sama remuknya," ucap si bapak pemilik bengkel, terdengar intonasi suaranya yang dilanda kecemasan bercampur rasa bersalah.
Tepat setelah kalimatnya selesai, pawana bertiup kencang dari arah selatan. Hingga menanggalkan daun pisang sekaligus kain jarik yang membungkus tubuh mendiang, menimbilkan kengerian dari setiap pasang mata yang memandangnya.
Tak terkecuali seseorang yang baru saja keluar dari mobil ambulan dengan seragam paramedisnya, raga itu bergetar dingin dengan mata yang mulai memanas. Tangisan tak lagi bisa dibendung. Tubuh kaku yang sedang terbaring di bahu jalan itu, merupakan orang yang berpuluh menit lalu berdebat dengannya dalam saluran telepon. Telinganya bahkan masih berdenging, karena suara lengkingan jengkelnya mengenai motor yang kembali mengalami mati mesin mendadak.
Kakaknya, keluarga terakhir yang ia miliki setelah di tahun'21 lalu kehilangan dua pelita hidupnya. Kini dia sungguhan jadi sebatang kara, seperti apa yang mendiang kakaknya katakan di telepon beberapa saat lalu. Bahkan belum ada satu jam sejak saat itu, tapi entah mengapa sekarang dunia terasa lebih menakutkan untuknya. Dalam sudut pandangnya.