Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ayah sudah lama berhenti menjadi sosok dirinya. Ia tak ingat siapa pun. Ia hanyalah tubuh di ranjang, kulit kering menempel pada tulang, mata setengah terbuka menatap sesuatu yang tak bisa kugambar. Suara infus menetes, seperti jam yang menolak mati.
Aku duduk di kursi plastik. Kursinya rapuh, dan kadang mengeluh. Ia mungkin bosan menahan berat badanku, tetapi tak ada kursi lain untukku menunggu.
Suatu malam Ayah terbangun, lalu menepuk pundakku. Suaranya jernih. Rautnya tampak segar, seolah rebahnya dua tahun terakhir merupakan lelucon buruk.
“Nur… Nur…”
Aku menoleh. Ada rasa tak percaya membentang di benak.
Ayah menatapku dengan mata yang penuh. Bukan penuh kasih. Lebih mirip seseorang yang pulang dari tempat jauh, dan mencari wajah yang harus ia ingat.
“Ayah ingin sate kambing,” ucapnya. “Pakai kecap, ya, Nur.”
Aroma bakaran menyeruak sebelum ia selesai bicara. Daging gosong, lemak meleleh, dan manis asin memenuhi rongga mulutku.
Aku ingat tangan Ayah yang dulu berlumur arang. Jarinya yang panas ketika menyuapiku, dan mulutnya yang lahap menyantap potongan-potongan sate hasil jerih payahnya.
“Tapi, Yah… Ayah kan—”
Aku ingin menolak. Permintaannya terlalu berat. Bukan berat untuk dilaksanakan, melainkan untuk kesehatannya. Namun, Ayah memaksa. Ia memenggal kalimatku. “Cepet, Nur! Ayah udah laper banget, nih.”
Aku beranjak. Ia tersenyum lebar. Senyumnya yang salah. Senyum yang tidak tahu harus menggunakan otot wajah yang mana.
Ada perasaan senang. Ada pula perasaan bimbang yang terus mengambang. Udara malam mencoba mendinginkanku, tetapi resah datang dari bagian tubuh yang tak tersentuh.
Sate kambing. Semoga Ayah hanya ingin menghirup kenangannya.
Dugaanku keliru. Sepuluh tusuk sate dilahap tanpa jeda olehnya. Gigi-giginya seolah tumbuh untuk melumat kerasnya daging. Bahkan, sisa kecap di kertas minyak ia jilati hingga tak berbekas.
Ia memintaku membelikan sepuluh tusuk lagi. Aku bilang warungnya sudah tutup. Ia merengek seperti anak kecil. Tangannya mengerut, mencengkeramku cukup kencang.
Akhirnya aku mengangguk, dan perlahan tangan Ayah terlepas. Akan tetapi, ada yang membuat mataku tak bisa berkedip. Aku melihat Ayah berdiri di sudut ruangan.
Bukan hanya Ayah, ada juga Ibu yang melambaikan tangan ke arahku. Aku lantas menghampiri, tetapi Ayah menarik tanganku.
“Apa ibumu ke sini?” tanya Ayah dengan mata terpejam.
Aku tak menjawab. Semuanya menghilang begitu saja. Mungkin mimpi. Mungkin manifestasi pikiranku yang tengah sesak.
Keesokan harinya, aku pulang sebentar untuk mengambil baju ganti Ayah. Begitu kembali, kursi plastik di samping Ayah bergeser sendiri, seret dan panjang, seolah ada orang lain yang baru saja pergi.
Aku melangkah pelan, mendekat ke kursi itu. Jari-jariku menyapu permukaannya. Licin dan tak seharusnya hangat. Ia menyimpan jejak yang lekat. Bukan milikku. Mungkin milik Ayah. Namun, ia belum bangun.
***
Di dapur, tusuk sate berjejer di atas piring. Garis kecap mengering, legam seperti luka. Bau daging terbakar menyesak ruangan. Asapnya munusuk mata, meski tak ada arang, tak ada api yang berkobar.
Aku coba mengingat kapan terakhir kali aku makan sate. Namun, ingatan yang datang justru diiringi gema takbir. Ayah pulang membawa sekantong daging. Ibu meracik bumbu dan membuat bara. Di tanganku, ada darah yang menetes dari pergelangan. Ia terus menitik, tak kunjung berhenti.
Aku berteriak ketakutan. Ayah malah tertawa keras, mengaburkan suaraku. Ibu terlihat semakin jauh, padahal ia tak bergerak.
Pandanganku meredup. Kelopak menutup, tubuh tenggelam. Saat kubuka mata, aku sudah duduk lagi di kursi plastik. Ayah memanggil dengan vokal bening.
“Kamu dari mana, Sep?”
Aku terdiam. Ayah bertanya kepadaku, tetapi ia menyebut namanya sendiri.
***
Dua hari kemudian, Ayah meninggal. Monitor jantung berhenti, dunia menjadi garis lurus.
Aku masih ingat jelas bagaimana sebelumnya ia terbangun. Kondisinya bugar, lebih segar daripada siapa pun di ruangan ini. Ia duduk tegak, tertawa, bahkan melahap sate kambing dengan rakus. Kecap menetes ke dagunya. Sisa daging digerogotinya hingga tak habis. Tidak ada yang melihat, selain aku.
“Itu namanya terminal lucidity,” ucap perawat, datar. Matanya tak lepas dari tubuh Ayah. “Sesaat sebelum meninggal, ada yang kembali. Mereka bisa bicara, bisa tertawa, bisa makan. Seakan hidup lagi. Tapi itu hanya cara tubuh berpamitan. Menyala sebentar, lalu padam.”
Terminal lucidity. Kondisi medis. Wajar.
Andai aku tahu itu, aku akan membelikan lebih banyak sate untuk Ayah. Sebanyak apa pun yang ia minta.
Aku pulang. Ayah pun ikut pulang. Kursi plastik tak bergerak. Kosong dan dingin.
Tanganku bergetar. Hitam di ujung kuku seperti jelaga. Sepanjang jalan, mulutku penuh rasa sate yang tak pernah kumakan.
***
Sejak itu, makanan apa pun berubah menjadi sate kambing di lidahku. Nasi, ikan, roti, pisang, bahkan air, semuanya berlendir kecap, gosong, dan kadang berbau prengus. Aku berhenti makan, tetapi rasa itu tetap tumbuh, memenuhi kerongkonganku.
Di dalam kamarnya, setiap malam, Ayah berseru, “Cepet, Nur! Ayah tunggu.”