Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Gimana? Bisa, kan?” tanyaku pada Dara ketika kami sarapan bubur ayam berdua di pinggir jalan.
“Ya… bisa, sih. Tapi… aku gak siap,” kata Dara.
Aku tersenyum dan melihat wajahnya sedikit lama. Setelah sekian lama berpisah, aku akhirnya bertemu lagi dengan cinta pertamaku di SMP. “Aku gak maksa, Ra. Kalau belum siap, ya, aku bisa nunggu,” kataku. Sudah hampir enam bulan kami menjalin hubungan dan merasa sangat cocok satu sama lain.
Dara tersenyum, kentara sekali senang dengan kata-kataku. Aku memang tidak ingin memaksanya untuk buru-buru bertemu abah dan umi untuk mengenalkannya sebagai calon menantu.
“Ji… memang kamu gapapa soal…” Dara meletakkan sendoknya di samping mangkok, ia berdehem. “Kamu, kan, lulusan pesantren. Abah sama Umi pasti mau calon yang solehah, yang berhijab,” katanya dengan raut wajah sedih. “Aku….” Dara melihat dirinya sendiri yang memakai dress selutut dan cardigan rajut lengan pendek.
Kuembuskan napas pelan. “Nanti kamu pakai pakaian yang lebih ketutup aja,” ucapku meyakinkannya. Aku tahu Dara bukan tipe yang menutup aurat. Tapi aku tahu kalau prinsip hidup dan cara pandang Dara tidak salah. Dia jelas gadis baik-baik. Dan itu cukup buatku. Aku tidak memperhatikan casing ketika membeli ponsel. Yang kuperhatikan adalah prosesor dan performanya.
Lagipula, dari sekian banyak gadis yang kukenal, hanya Dara yang mampu memahamiku. Pemikiran kami satu frekuensi. Dia mau memahami kekuranganku dan mengimbangi langkah-langkahku. Cuma Dara yang aku butuhkan untuk menjadi seorang laki-laki.
“Kamu janji gak masalah?” tanya Dara dengan wajah serius sekaligus khawatir.
“Iya, Ra. Cuma kamu yang bisa ngerti aku. Kamu juga tahu gimana caranya bikin aku tenang lagi setelah marah. Aku butuh wanita yang seperti kamu.” Kutatap wajah Dara yang mulai merah merona.
“Yaudah, abis ini anterin aku ya?” katanya. Aku mengiyakan permintaannya.
Di sana lah aku termenung. Di depan sebuah bangunan putih dengan atap yang dihiasi salib. Dara melambaikan tangan, mengeluarkan sebuah rosario dari tasnya dan mengalungkannya di leher.
Tubuhku kaku. Lidahku kelu. Aku terlalu memperhatikan kebutuhanku sendiri dalam hubungan ini sampai aku tidak mengetahui kalau Dara telah mengikuti mamanya memeluk katolik.
Aku masih terdiam saat Dara telah keluar dari gereja dan menghampiriku. Dara menatapku khawatir tapi sepertinya dia tahu apa yang sedang terjadi.
“Ji… kamu baru tahu kalau aku udah pindah agama?” tanya Dara hati-hati. Matanya menyiratkan kesedihan yang dia tangkap dari mataku.
Aku mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku gak peka, ya, Ra?” tanyaku sembari tersenyum pahit.
Dara menunduk, berusaha menyembunyikan tangisnya yang sudah pecah. Kemudian dia bersandar pada badan mobil. “Aku tahu diri, Ji. Aku gak maksain kita lanjut.”
Susunan resolusi yang telah kutata dalam benakku robek. Tapi suaranya berdenting seperti gelas pecah yang tersebar di jalan masa depanku. Bibirku tak mampu berkata-kata. Kupandangi Dara dengan mata yang nanar.
Kami melihat satu sama lain dengan mata yang buram.