Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Terus?” tanyaku setengah jengah. Tetapi kusembunyikan rasa itu serapat mungkin.
“Ya…, gitu deh! Dia cerita-cerita kuliahnya, temennya, kakaknya…,” jawab Biel. Sumringah sekali wajahnya menceritakan Nul, cewek cantik sahabat SMA kami.
Bukan rahasia bila semua orang tahu Biel menyukai Nul. Dari gelagat, caranya ketika menceritakan gadis itu hingga sikapnya semua orang akan tahu. Namun anak satu itu batu. Ia selalu menyangkal dan bilang kalau tidak memiliki perasaan pada Nul. Mereka hanya sahabat, kilahnya.
Aku mengenal Biel dari SMA. Kami bersahabat baik hingga sekarang meskipun sudah jarang bertemu karena dia kuliah di luar kota. Sementara Nul, kami sudah saling kenal sedari kecil. Dia masih sepupu jauhku.
“Sampai jumpa! Bulan depan jangan lupa mampir ke tempatku.” Kujabat tangan Biel sebelum memandangi punggungnya hingga ia naik angkot.
Parah! Si Biel udah benar-benar jatuh cinta meski ia mati-matian mengelak. Dasar tsundere!
Kulangkahkan kaki menuju sebuah gang kecil bergapura etnik. Seseorang yang tak asing lagi berjalan santai lima puluh meter di depan.
“Woy…! Nul!”
Yang dipanggil menoleh. Ia menghentikan langkahnya. Menungguku.
“Dari mana?” tanya Nul setelah tersenyum.
“Abis ketemuan sama Biel. Kamu kemarin ke tempat dia, ya?” kuselidik ekspresi Nul.
“Oh…, itu pas hari minggu. Kebetulan aja mampir. Abis nemenin Hayl ke rumah tantenya. Kebetulan dekat, jadi sekalian mampir.” Jelasnya ringan. Tak terdeteksi hawa-hawa asmara.
“Nul…,” ucapku agak ragu. “Kamu suka Biel enggak, sih?”
“Apaan, sih?” Nul tampak sedikit risih. Pasti aku bukan orang pertama yang menanyakan hal ini.
“Nih, kukasih tahu, ya…. Si Biel itu suka sama kamu. Saban ketemu ngomongin kamu melulu,” kataku memberi tahunya.
“Tahu dari mana dia suka aku? Emang dia bilang?” tanyanya ringan.
“Enggak sih…. ” Kugaruk tengkuk, berharap kecanggungan yang tiba-tiba muncul ini sirna. “Nul, kalau kamu enggak suka dia, lebih baik jangan sering main ke tempatnya. Jangan sering nelpon dan SMS Biel. Itu sama aja kamu ngasih harapan ke dia, Nul.
“Kamu tahu? Cewek-cewek menyangka kalau kalian punya hubungan. Tiap ada yang deketin Biel, orang itu mundur pelan ngeliat kedekatan kalian. Dan mantan-mantan kamu juga suka cemburu sama Biel, kan?”
Nul terdiam. Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir mungilnya.
“Zen, aku duluan ya! Oiya, minta pulsa, ya, nanti. Hehe….” Nul berbelok menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput.
Aku hanya terdiam sebelum otakku mengulang kata-kata terakhir Nul. Minta pulsa. Saus tartar! Gak berubah juga kelakuannya.
***
Kukemasi barang-barang yang akan kubawa esok. Akhirnya pekerjaan impianku menanti. Meskipun harus bekerja di luar kota, tak masalah bagiku.
“Zen! Zenal! Nih ada undangan.” Suara ibu terdengar dari ruang depan.
“Ada apa, Bu?” tanyaku menghampiri ibu di ruang tamu.
“Si Nul nikah, Zen! Ini undangannya.”
Kuterima undangan hitam berhiaskan ornamen swirl perak elegan itu dari tangan ibu. “Hah? Nikah sama siapa dia, Bu?”
“Kata uwakmu, orang Jakarta. Pengusaha ayam,” jawab ibu sebelum bergegas ke dapur.
Baru saja hendak kembali ke kamar, mataku melihat sosok Biel berjalan menuju pintu rumah. Undangan yang sama ada di tangannya. Ada corak onde basah menghiasi undangannya.
Biel berdiri mematung memandangku. Tangannya mengepal menahan tubuhnya yang gemetar.
Kuhampiri Biel. Tanganku refleks memegangi bahunya. “Sabar, Biel.” ucapku.