Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rina mengusap keningnya yang berkeringat. Pukul tiga sore, dan kekacauan di rumahnya mencapai puncaknya. Mainan berserakan di ruang tamu, sisa remah kue kering di meja makan, dan suara tawa serta rengekan dua putranya, Rio (7) dan Rafi (4), saling bersahutan dari kamar. Ia baru saja selesai melipat gunung cucian, dan bau bawang putih dari tumisan makan malam masih menempel di tangannya.
"Mama, Rio mau minum!"
"Ma, Rafi mau pipis!"
Teriakan itu biasa baginya, melodi harian yang membentuk irama hidupnya selama sepuluh tahun terakhir. Sejak menikah dan memiliki anak, dunia Rina menyempit menjadi empat dinding rumah ini. Dulu, ia adalah seorang fotografer amatir yang bersemangat, selalu membawa kamera ke mana pun ia pergi, mencari keindahan dalam hal-hal kecil. Kini, kameranya, sebuah DSLR tua yang setia, teronggok di dasar lemari, terbungkus kain lap, seolah menjadi relik dari kehidupan yang lain.
Sore itu, setelah berhasil menidurkan Rafi dan membujuk Rio untuk membaca buku, Rina duduk di sofa, memandang kosong ke luar jendela. Langit jingga mulai menyapa, namun ia merasa hampa. Rutinitas yang tak berujung ini, meskipun penuh cinta, perlahan mengikis identitasnya. Ia bukan lagi Rina si penangkap momen, ia hanyalah "Mama" dan "Istri".
Sebuah dorongan aneh muncul. Ia bangkit, melangkah ke lemari tua di sudut. Jemarinya meraba-raba, menemukan kain lap yang membungkus sesuatu yang familiar. Debu beterbangan saat ia mengangkat kamera itu. Beratnya terasa akrab di tangannya. Lensa yang sedikit buram, bodi yang masih kokoh.
"Sudah lama sekali," bisiknya.
Malam itu, setelah semua orang terlelap, Rina menyelinap ke ruang tamu. Ia mengeluarkan kamera itu, membersihkannya perlahan. Ia ingat bagaimana dulu ia bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk mencari sudut pandang yang tepat, bagaimana jantungnya berdebar saat ia menekan tombol shutter, mengabadikan sebuah cerita dalam satu bingkai.
Keesokan paginya, saat anak-anak sibuk dengan sarapan, Rina mengambil kamera itu. Ia tidak berani keluar rumah, takut suaminya, Budi, atau tetangga akan menganggapnya aneh. Ia hanya memotret dari dalam rumah.
Cahaya matahari pagi yang menembus tirai dapur, menciptakan pola-pola indah di lantai. Tangan mungil Rio yang menggenggam sendok, fokus pada sereal di mangkuknya. Wajah damai Rafi yang tertidur pulas di pangkuannya. Budi yang tersenyum saat membaca koran.
Awalnya canggung, ia merasa seperti pemula lagi. Banyak foto yang buram, exposure yang salah. Namun, setiap kali ia berhasil menangkap momen yang pas, ada percikan kegembiraan yang lama tak ia rasakan. Jantungnya kembali berdebar.
Satu minggu berlalu. Kamera itu tidak lagi di lemari. Ia selalu berada di dekatnya. Rina mulai melihat rumahnya dengan mata yang berbeda. Bukan lagi sekadar tempat kerja tanpa henti, melainkan sebuah galeri hidup yang penuh cerita. Ia memotret tetesan air di daun bunga di teras, tekstur kayu meja makan, bahkan pantulan awan di genangan air setelah hujan.
Suatu sore, saat ia sedang memotret Rio yang sedang melukis, Budi mendekat. "Sedang apa, Ma?" tanyanya lembut.
Rina sedikit terkejut, namun ia tidak menyembunyikan kameranya. "Memotret," jawabnya singkat, sedikit malu.
Budi melihat layar kamera. Ada foto Rio yang sedang memegang kuas, wajahnya penuh konsentrasi, cat warna-warni di tangannya. Lalu ada foto Rafi yang tertawa lepas saat bermain air. Dan sebuah foto dirinya sendiri, yang diambil Rina melalui pantulan cermin, dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan belakangan ini.
"Bagus sekali, Ma," kata Budi, tulus. "Kau harus memotret lebih sering."
Mata Rina berkaca-kaca. Bukan karena pujian, melainkan karena pengakuan. Pengakuan bahwa ia bukan hanya seorang ibu dan istri, melainkan juga seorang individu dengan hasratnya sendiri.
Malam itu, Rina membuka laptopnya. Ia mulai mengedit foto-foto itu. Ia tidak tahu apakah ia akan memamerkannya, atau bahkan hanya sekadar mencetaknya. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah ia telah menemukan kembali lensa di balik tirai dapurnya, lensa yang membantunya melihat kembali dirinya sendiri, dan menemukan keindahan dalam kehidupannya yang sederhana. Ia tidak lagi merasa hampa. Ia merasa utuh. Dan itu adalah gambar terbaik yang pernah ia tangkap.