Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sudut kamar kontrakan sempitnya di Jember, Maya menatap kanvas kosong. Debu tipis telah melapisi permukaannya, sama seperti lapisan keraguan yang menyelimuti hatinya. Sudah berbulan-bulan kanvas itu berdiri tegak, menantang, menunggu sentuhan kuasnya. Namun, setiap kali jemarinya hampir meraih palet, bayangan kegagalan dan kritik tak kasat mata menghantuinya.
Maya adalah seorang pelukis, setidaknya itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri. Realitanya, ia adalah seorang kolektor ide-ide setengah jadi, sketsa-sketsa yang tak pernah bertransformasi menjadi karya utuh. Galeri Instagram seniman lain yang karyanya tampak begitu sempurna, begitu selesai, selalu menjadi racun yang melumpuhkan semangatnya. "Apa gunanya jika tidak bisa seperti itu?" bisiknya pada diri sendiri.
Pagi itu, sebuah email masuk. Undangan pameran seni komunitas "Jember Berwarna". Batas waktu pendaftaran tinggal seminggu. Jantung Maya berdebar kencang. Ini adalah kesempatan yang ia dambakan, sekaligus mimpi buruk terbesarnya. Bagaimana ia bisa memamerkan sesuatu jika ia bahkan tidak bisa memulai?
Ia mencoba. Kuas di tangan, cat di palet. Namun, setiap garis yang ia torehkan terasa salah. Terlalu tebal, terlalu tipis, warnanya tidak pas. Ia mengusapnya, mencoretnya, hingga kanvas itu tampak lebih seperti medan perang daripada lahan kreativitas. Frustrasi memuncak. Ia melempar kuasnya, suaranya berdebum pelan di lantai kayu.
Malam harinya, saat ia menyeduh kopi pahit, matanya tertumbuk pada sebuah buku tua di rak. Judulnya pudar, namun sebuah kutipan di halaman pertama menarik perhatiannya: "Seniman sejati tidak takut pada kanvas kosong, tetapi pada kanvas yang tidak pernah disentuh." Itu adalah tulisan tangan mendiang kakeknya, seorang pelukis amatir yang selalu melukis dengan riang, tanpa beban.
Kakeknya tidak pernah peduli apakah lukisannya "sempurna". Ia hanya melukis apa yang ia rasakan, apa yang ia lihat di sekitar kebun kopi dan persawahan Jember. Ada kebahagiaan murni dalam setiap sapuan kuasnya.
Maya kembali menatap kanvas kosong itu. Bukan lagi dengan ketakutan, melainkan dengan rasa ingin tahu. Bagaimana jika ia melukis seperti kakek? Tanpa ekspektasi, tanpa tekanan. Hanya untuk kesenangan murni dari prosesnya.
Ia mengambil kuasnya lagi. Kali ini, ia tidak memikirkan pameran, tidak memikirkan kritik, tidak memikirkan kesempurnaan. Ia hanya memikirkan warna. Merah seperti matahari terbenam di Pantai Papuma, hijau seperti daun kopi di lereng gunung Argopuro, biru seperti langit di atas kota Jember. Ia membiarkan tangannya bergerak, membiarkan imajinasinya mengalir.
Satu jam berlalu, lalu dua. Ia tidak menyadarinya. Waktu seolah berhenti. Kanvas itu mulai hidup. Bukan sebuah mahakarya, mungkin. Tapi itu adalah lukisan yang jujur, penuh energi, dan yang terpenting, selesai. Ada jejak-jejak keraguan di sana, tapi juga keberanian.
Maya tersenyum. Bukan senyum bangga karena karyanya sempurna, melainkan senyum lega karena ia telah membebaskan diri dari belenggu yang selama ini mengikatnya. Ia mengambil ponsel, memotret lukisan itu, dan mengirimkannya ke panitia pameran.
Bukan untuk menang, tapi untuk memulai. Untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kanvas kosong bukanlah akhir, melainkan sebuah undangan. Undangan untuk menorehkan warna pertama.