Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Menunggu Hujan Reda
0
Suka
144
Dibaca

Menunggu Hujan Reda

 

Aku punya dua hal untuk hujan. Satu, aku selalu menantikannya_karena itu artinya waktu kami untuk bertemu. Di sisi lain hujan membuatku cemburu, karena hujan menjadi alasan dia datang, dan duduk berlama-lama untuk menatapnya.

_Sena

 

           “One regular cappuccino for here, right?” Sena tersenyum_ lebih tepatnya berusaha menunjukkan senyum terbaiknya. Gadis itu bahkan belum sempat menyebutkan pesanannya.

           Namun itu benar, gadis itu mengangguk, tersenyum tipis, bahkan hampir tidak terlihat. Gilanya itu mampu membuat hati Sena berdebar tak karuan. Ah, jatuh cinta memang seringkali tak masuk akal.

           Ya, gadis itu selalu datang saat hujan, memesan menu yang sama, dan duduk berlama-lama di sudut yang sama, menatap hujan dengan tatapan teduhnya. Dan Sena akan berlama-lama menatapnya dari sudut yang lain tanpa berani mendekatinya.

           Ajaibnya, hujan di kota kecil kami seolah ikut mengatur pertemuan mereka. Hujan turun seminggu sekali, di hari yang sama, dan di waktu yang sama.

           Sena tak ingat sejak kapan gadis itu mulai datang ke kafe tempat ia bekerja, ia juga tak ingat kapan pertama kali ia suka berlama-lama menatapnya. Yang ia tahu hanyalah bahwa gadis itu mampu membuat jantungnya berdebar kencang untuk pertama kalinya.

           “Sen!” satu tepukan kecil dari Bima membuyarkan lamunannya. Seorang pengunjung sedang menunggu di depannya. Sena tersenyum tanggung merasa bersalah,segera membuatkan pesanannya.

***

           Benarkah ada jatuh cinta pada pandangan pertama?. Sejak dulu Raina tak pernah mempercayainya, bagaimana mungkin bisa jatuh cinta sedangkan ia tidak mengenalnya. Namun itu sebelum Raina bertemu laki-laki itu. Laki-laki yang membuat jantungnya berdebar saat pertama ia melihatnya.

           Sore itu, di bulan Juni, hujan tiba-tiba turun mengguyur kota. Hei, bukankah seharusnya hujan tidak turun di bulan Juni?. Sehingga bulan Juni menjadi judul puisi  karya penyair ternama. Entahlah, mungkin karena semesta selalu punya caranya sendiri untuk merangkai sebuah cerita.

           Raina yang baru pulang kerja terpaksa harus berteduh, ia tidak membawa payung. Meski perjalanannya tinggal sedikit lagi, hujan itu terlalu deras untuk diterjangnya. Ia melihat sebuah kafe di pinggir jalan. Baiklah, daripada kehujanan lebih baik menikmati secangkir kopi sambil melihat hujan, menunggu reda.

           “One regular cappuccino for here, please”.

           “Sorry, could you repeat that?”.

           Entah apa yang membuat barista itu gugup hingga salah tingkah, bahkan memintanya mengulang pesanannya. Dan entah apa yang membuat tingkah barista itu terlihat lucu di mata Raina. Ia tersenyum kecil sambil menyebutkan kembali pesanannya.

           Raina mengamati barista itu dari tempat duduknya. Ia sampai kesulitan menahan senyum dari bibirnya. Bahkan setelah ia mengulang pesanannya, barista itu bukannya memberi cappuccino malah memberinya caffe latte.

           Tanpa sadar hatinya menghangat, perlahan debaran itu terasa. Apa yang membuat jantungnya berdebar? Cafffe latte itu, ataukah baristnya?. Ah, mungkin di hujan berikutnya Raina akan kembali, menunggu hujan reda.

***

           Sena mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepalanya terasa berat. Ia melihat ponselnya, sudah pukul 10.00, ia kesiangan. 10 panggilan tak terjawab dari Bima.

           “Woy, darimana aja lo”. Bima meneriakinya dari seberang sana.

           “Sori Bim, hari ini gue libur ya. Kayaknya gue ga enak badan nih”.

           “Eh, lo sakit apa Sen? Sejak kapan? Mau gue temenin ke dokter?” Bima sedikit menyesal telah meneriakinya, ia memberondongnya dengan pertanyaan.

           “Gue ga papa Bim, paling gejala flu, gue mau tidur aja hari ini”.

           “Oke bro, get well soon, kalo ada apa-apa kabarin”.

           “Thanks bro, ya udah gue tutup”.

           Ah, kenapa ia harus sakit hari ini. Sena merutuk dalam hati. Selasa sore itu hujan kembali turun, dan ia melewatkan kesempatan untuk bertemu gadis dengan tatapan teduh itu.

***

           “Sen, kok lo ga cerita kalo punya pacar?”.

           Bukannya menanyakan kesehatan Sena, Bima malah melontarkan pertanyaan konyol.

           Sena menatapnya malas “Gue terlalu sibuk sampe ga punya waktu buat pacaran”.

           Bima mengangkat bahu “Kemaren waktu lo sakit ada cewe nyariin lo. Dia keliatan khawatir gitu pas gue bilang lo sakit, ya gue kira itu pacar lo”.

           Deg!

           Mungkinkah?

           “Dia dateng pas hujan? Pesen cappuccino? Duduk di kursi pojok sana?”. Jantungnya berdebar kencang menunggu jawaban Bima.

           “Aneh lo, mana gue inget sedetail itu. Tapi kayaknya dia langsung pulang”.

           Berbagai kemungkinan melintas di kepala Sena, namun di lubuk hatinya harapan itu mulai tumbuh. Bahwa perasaannya mungkin tak bertepuk sebelah tangan.

***

           Raina menghembuskan nafas kecewa saat melihat tulisan closed di pintu kafe. Selasa sore itu hujan kembali turun, namun Raina harus melewatinya tanpa bertemu dengan pria yang bekerja di kafe itu lagi.

           Bagaimana kabarnya? Apakah flu nya sudah sembuh?. Ah, Raina tak bisa berbohong bahwa ia merindukannya.

           Namun langkahnya yang hendak pulang terhenti saat ia berbalik. Pria itu berdiri dua meter di seberangnya, menatapnya. Hatinya menghangat, jantungnya mendadak berdebar. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya.

           “Mau masuk?” Sena bertanya lembut.

           “Eh, bukannya tutup?”.

           “Aku tau kau akan datang. Masuklah, ada yang ingin ku katakan”.

           Sena membukakan pintu kafe.

           “Regular cappuccino?” Sena bertanya memastikan.

           Raina mengangguk, tersenyum tipis seperti biasa.

           Sena ke tempat duduk Raina membawa dua cangkir kopi, ia duduk di seberang Raina, menyerahkan kopi milik Raina.

           “Apa yang hendak kau katakan?” Raina berusaha menahan suaranya agar tak terdengar bergetar karena gugup.

           Sena menarik nafas dalam, menatap Raina.

           “Bisakah aku menjadi alasannya? Bukan karena menunggu hujannya reda, namun karena ada aku yang berdiri di sana”. Sena berhasil mengatakannya dengan baik meski suaranya terdengar bergetar.

           Raina balas menatapnya, tersenyum. Kali ini bukan senyum tipis seperti biasa, ia tak bisa menahan senyum lebarnya.

           “Benar jika hujan yang menjadi alasanku datang kemari. Namun itu berubah saat pertama kali aku menatapmu dari sini”.

           Hujan sore itu terasa lebih singkat dari biasanya.

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Happy = Hari ini, esok atau nanti.
Yohanna Claude
Skrip Film
LEPAS
Atmara
Flash
Menunggu Hujan Reda
kholifatussa'adah
Cerpen
Pertemuan Terakhir
Rahmi Azzura
Novel
Bronze
Rasa yang hilang
Ratihcntiia
Novel
Guruku Yang Hilang Dalam Pandemi
ajitio puspo utomo
Novel
Bronze
Daun-Daun yang Merayu Angin (Antologi Novelette)
Imajinasiku
Novel
Bronze
Tak Sambat
Nuel Lubis
Flash
Sudah Waktunya
Wardatul Jannah
Flash
ALUNA MENCARI BAPAK
M Fadly Hasibuan
Flash
Bronze
Strong Cinnamon and Sparkling Brown Sugar
Silvarani
Novel
Gold
Dear Martin
Mizan Publishing
Novel
Gold
KKPK Kembaran Mama
Mizan Publishing
Skrip Film
DI BALIK LAYAR
Didiiswords
Cerpen
Bronze
Eno Hamil (seperti) Wiwin Hamil
Habel Rajavani
Rekomendasi
Flash
Menunggu Hujan Reda
kholifatussa'adah
Flash
Selamat Tinggal
kholifatussa'adah
Novel
Can We Rewrite The Stars
kholifatussa'adah