Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ditemani secangkir Good Day mocacino, dan sepotong bakery mentega meses, Mariah, istriku yang sudah ku nikahi lebih dari dua windu itu, terlihat tidak menyentuh sarapan favoritnya. Pandangannya jauh, sejauh pikirannya, yang melayang entah kemana, dengan tatapan yang kosong. Ketika kutanya, dia selalu diam, kemudian menjawab tidak ada.
“Ma, lagi ngelamunin apa? Tanyaku, seraya menghampirinya.
“Tidak ada.”
“Tatapanmu jauh gitu kok dibilang tidak ada”
‘Ya benar, tidak ada apa-apa kok.”
“Kamu selalu begitu, aku suami mu, sudah lebih dari lima belas tahun kita menikah, aku kenal betul seperti apa istriku, jika ada masalah.”
“Biasa lah, biasa aja.” Jawabnya dengan tersenyum dan mulai menyeruput kopinya yang sudah setengah dingin.
Kalau dia sudah menjawab dengan kata “biasa,” artinya tidak ada yang perlu diceritakan. Karena, setiap kejadian yang terjadi padanya pasti, Mariah bercerita padaku. Jadi aku memilih pergi, biarlah nantinya dia yang akan bercerita dengan sendirinya. Biasanya itu tentang dirinya dan orang tuanya, mertuaku.
Nyatanya memang, tidak semua orangtua yang benar-benar sayang sama anaknya. Kalaupun ada, pasti itu nggak seberapa. Mungkin hanya tiga dari sepuluh orangtua. Aku tidak menyalahkan para orang tua dengan sikapnya dalam mendidik anak, atau cara mereka mengontrol agar anak tetap patuh. Tapi cara itu memberikan trauma, dan luka yang menahun.
Kebanyakan dari mereka, memiliki anak, agar masa tuanya tidak terlantar, atau berakhir di panti jompo. Dapat dilihat perilaku ketika mereka di usia renta, mencerminkan seperti apa masa mudanya. Anak-anak merekalah yang paham, akan hal itu. Mana mungkin orang lain.
Menghujat mereka, dengan sebutan anak durhaka, sangatlah tidak pantas untuk diucapkan, hanya karena mereka enggan dekat dengan ayah ibunya. Terkadang orang tualah yang memilih durhaka pada anaknya. Bukan anak yang durhaka pada orang yang telah menyebabkan mereka ada didunia ini.
Ini penyebabnya, kenapa, dalam beberapa hari ini, ku lihat wajah Istriku terlihat murung. Tidak ada senyuman manis yang biasa menyungging di bibir indahnya. Tidak ada mimik yang ceria yang biasa ku lihat. Jika aku bertanya, “ada apa”. Jawaban yang selalu dilontarkanya pasti, “tidak ada apa-apa.” Dengan senyum yang seolah dipaksakan, tidak yakin aku dengan kata “tidak mengapanya” itu. Pasti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Hanya saja dia sudah terbiasa menyimpan perasaan. Memendam rasa lebih baik baginya daripada berbagi. Begitu tipe wanita yang telah kunikahi itu.
Menyelami perasaannya sangat sulit dari pada menyelami laut yang dalam. Lebih baik bagiku sampai ke palung mariana, karena aku cepat tahu apa isinya. Berbeda dengan menyelami perasaan istriku. Sosok misterius yang serumah denganku ini, harus pandai-pandai aku membujuknya agar dia mau bercerita. Aku siap mendengarkan keluh kesahnya, tanpa menghakimi. Pokoknya aku mendengarkan saja. Aku siap. Asalkan dia kembali ceria seperti biasa.
Seperti yang ku katakan akhirnya dia sendiri yang membuka mulut, dan mengatakan,
“Aku rindu ama dan apa tapi takut pulang.” Ujarnya, padaku.
“Lho, itu kan rumahmu juga. Apa yang ditakutkan.” Sanggah Ku dengan lembut.
“Entahlah, pokoknya takut saja.”
“Ayolah kita pulang. Paling tidak memastikan dia sehat saja, itu sudah cukup.”
“Nanti saja, kalau aku sudah kuat.”
“Nanti? Nunggu apa? Disaat mereka sudah sepuh begini kitalah yang diharapkannya. Kalau bukan kita siapa lagi?”
“Mungkin minggu besok kita bisa pulang.”
“Kenapa tidak minggu sekarang, kinilah kesempatan kita untuk berbakti. Kita nggak bakalan tahu nanti. Apa yang akan terjadi. Bagaimana kalau ini pulang yang terakhir. Aku takut ini akan menjadi penyesalan bagi mu. Rindu orang tua ketika mereka sudah tiada adalah yang paling berat.”
Dia terdiam dengan penjelasanku. Lalu menatapku. dengan sedikit jeda dia mengangguk, dan beranjak dari tempat duduknya. Mengemaskan barang berupa pakaian yang akan kami bawa untuk pulang.
Kali ini dia setuju denganku. Tidak seperti yang sudah lalu, dimana selalu menolak ketika diajak pulang ke rumahnya, tempat dia dibesarkan dan dilahirkan. Ada saja alasan yang sengaja dibuat. Paling sering adalah menolak dengan tegas, menceritakan pengalaman buruknya, sampai-sampai aku sudah hafal semua yang di alaminya, karena keseringannya cerita itu aku dengar.
Kami pulang. Jarak rumah kami dengan kampung halaman istriku, lebih kurang empat puluh lima menit. Dijalan, kami berhenti untuk membeli buah tangan. Ketika sampai dirumah, kami disambut dengan insiden kecil. Apa jatuh di kamar mandi, vertigonya kambuh lagi. Tadi orang-orang dari rumah sebelah bersama-sama menggotong apa dari kamar mandi ke tempat tidur.
Kulihat ama, sibuk bersih-bersih, karena apa tadi mau buang air kecil. Ku pandangi istriku, kulihat dia tertunduk lesu. Sorot matanya lemah, ada guratan penyesalan terpancar dari wajah sendunya. Ama menatapnya dengan penuh harap.
“Tadi apa jatuh dikamar mandi, tiba-tiba kepalanya pusing, vertigo apa kambuh lagi.”
Selain vertigo apa juga terserang cerebral Infarction, tingkat sedang. Mariah hanya menganggukan kepala. Kulihat apa menggenggam tangan putrinya dengan erat, ketika mereka bersalaman. Seperti ada harapan yang besar, agar anak-anak mereka ada di dekatnya, terutama Mariah, karena dia lah yang lebih banyak memiliki waktu, dan jarak rumah mereka yang lumayan dekat.
Sepertinya Mariah menangkap sinyal itu. Kesadaran telah tumbuh dalam hatinya, sejak kejadian yang baru saja terjadi. Nasihatku yang tidak bosan padanya. Agar tidak ada lagi dendam, karena luka masa kecil. Bagaimanapun tindakan mereka dulunya, kewajiban kita untuk berbakti tidak pernah gugur.
Tugasku sebagai suami membantunya, sebisa yang aku mampu. Memberikan dukungan kepadanya adalah kewajiban ku juga, agar orang tua yang sepuh ini tidak terlantar, dan dapat dirawat oleh anaknya.
“Mariah, ketika bunda sudah tiada, aku tiada penyesalan sedikitpun, semua keinginannya aku penuhi. Menemainya di rumah sakit, memandikan, mengambilkan wuduknya, sampai mencebokkanya. Tidak pernah aku hindari, karena tugasku sebagai anaknya. Aku ingin kamu seperti itu, tidak ada penyesalan juga. Menyesal itu tidak enak.” Mariah mengangguk mantap, mengambil tanganku dan menciumnya.