Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Misteri
Lemari Jam Tua
0
Suka
19
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Silvan menyentuh satu per satu perabot berdebu di rumah kayu tua peninggalan kakeknya—tempat ibunya tumbuh besar. Rumah tua ini mempunyai banyak barang dengan ornamen dan arsitektur unik. Mulai dari kursi berelief mitologi, meja kayu yang tepinya berpola rajutan bunga, cangkir-cangkir dengan corak warna abstrak, lemari dengan gaya gerbang kuno, dan masih banyak lagi.

Namun, yang paling mencolok di rumah ini adalah lemari jam coklat keemasan, dengan lonceng perak dan angka Arab. Seingatnya, jam itu selalu di sini, tidak pernah pindah—bahkan tidak bergeser. Ibunya berkata bahwa jam ini lebih tua dari dirinya. Mungkin saja, bila jam ini bisa bicara, dia dapat menceritakan hal-hal yang selama ini berbelit. Setidaknya, itulah yang dia pikirkan tadi pagi, sebelum suatu magis terjadi.

Malam ini Silvan berencana tidur di sini, sebelum besok mengemasi semua barang karena rumah ini akan digusur. Namun, pukul dua malam lewat beberapa menit, jam besar itu berdentang menggema sangat keras. Anehnya, gema besar itu hanya membangunkannya, istri dan anaknya tetap tidur, hanya dia yang mendengarnya. Dia kemudian menghampirinya, entah kenapa jam ini terlihat aneh. Jam ini seolah tersenyum padanya. Dia mungkin sudah gila.

“Gila? Sepertinya belum Silvan. Sangat menyayangkan jika kau gila di umur yang baru kepala tiga.” Silvan terkesiap mendengar suara seperti kakek tua berbicara.

“Siapa kau?” sergah Silvan lantang.

“Aku dihadapanmu. Daripada gila, kau sepertinya buta Silvan”. Suara tua itu merengut khas kakek-kakek.

Silvan terkejut sekali lagi, kali ini dia yakin jam besar inilah yang berbicara.

“Jam tua? Kau berbicara? Aku yakin sudah gila. Seharusnya sejak dulu saja. Sial!”

“Jangan mengumpat di depan barang tua, Silvan. Kau harus menaruh hormat pada umur yang telah melihat waktu lebih banyak darimu.”

Silvan mendengus, baginya ini tidak menakutkan, dia bukanlah pengecut. Dia hanya ingin segera tidur dan tidak ingin menghabiskan malam dengan halusinasi tak berarti.

“Cukup lemari tua, apa maumu? Tidak mungkin kau melakukan ini tanpa sebab. Aku telah melihatmu sejak lama, hal ini tidak pernah terjadi.”

“Benar, kau benar Silvan. Aku melihatmu bahkan ketika kau masih dalam perut ibumu. Kenapa aku bicara padamu sekarang? Silvan, bukannya kau mengharapkannya tadi? Bukankah kau ingin tahu sesuatu?”

Silvan bergeming sejenak, dia memandang jam itu seolah bisa melihat raut wajahnya.

“Lalu, katakan padaku!”

“Katakan apa, Silvan?”

“Apapun yang kau tahu, apapun yang kau lihat, kau pasti tahu yang aku inginkan!”

“Silvan, kakekmu memang membunuh nenekmu, ibumu memang gila karena sesuatu, dan ayahmu memang membawamu pergi karena takut.”

Ucapan lemari tua ini membuat darah Silvan mendidih. Jam itu mengamini semua hal yang selama ini dia pertanyakan, termasuk kemarahan terpendamnya pada ayahnya, pengecut yang meninggalkan ibunya yang sakit bersama kakeknya yang bajingan.

“Namun Silvan, setiap akibat di dahului oleh sebab, apa kau tidak penasaran Silvan?”

“Untuk apa aku tahu alasan mereka? Di rumah ini, dua orang pria itu tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan perempuannya. Aku tidak perlu tahu!” Ucap Silvan marah, dia tidak bisa menahan emosi nya yang meledak dan mengutuk kedua pria tersebut.

“Sepertinya kau tidak tahu, Silvan. Terkadang ketika seseorang menua, dia akan memilih jalan yang tidak logis untuk menyelesaikan masalah. Kenapa? Karena mereka diburu oleh waktu. Bagi mereka, terlambat berarti mewariskan petaka, Silvan.”

“Apa maksudmu?”

“Nenekmu bersekutu dengan ‘hal’ yang tidak semestinya Silvan, dia melakukan perjanjian agar suaminya dijaga di tengah huru hara dahulu. Naasnya, ‘hal’ itu meminta bayaran yang tidak setimpal. Oleh karena itu, kakekmu harus membunuh nenekmu—atas permintaannya—agar ‘hal’ itu tak bisa menagih bayaran. Menurutmu, apa yang harus kakekmu lakukan?”

Silvan terkesiap, amarahnya berubah menjadi rasa terkejut yang luar biasa. Dia tidak menyangka neneknya yang lembut dan penyayang mengambil langkah yang tidak seharusnya.

“Sayangnya Silvan, ‘hal’ itu masih sempat mengganggu ibumu, itulah yang membuat jiwanya tidak stabil. Ironisnya, jika kau atau ayahmu berada disekitarnya, kutukan itu akan menjalar pada kalian. Hanya kakekmu yang bisa bertahan—karena dilindungi oleh ‘janji’ lama. Terpaksa, kalian harus pergi Silvan. Ayahmu menentang keras hal ini, dia yakin dia dapat menemukan solusinya. Itulah kenapa kakekmu mengusir kalian dan memasung ibumu di rumah ini. Seperti yang ku bilang, orang tua tidak punya banyak waktu, bagi mereka terlampau banyak hal yang lebih berharga daripada waktu.”

“Ayahmu sendiri bukan pengecut Silvan, dia sering datang kesini walau diusir berkali-kali tanpa sepengetahuanmu. Hal itulah yang membuat mentalnya melemah dan terlihat seperti pengecut yang buruk dimatamu. Dia tidak kurang berani, dia hanya tidak tahu caranya, dia tidak bisa membuatmu dalam risiko besar, Silvan. Dia hanya tidak tahu dan kebingungan”

“Pada akhirnya Silvan, seperti yang kau tahu. Ibumu meninggal setelah dirawat oleh kakekmu, kakek mu meninggal tanpa di jenguk siapapun karena kebencian, ayahmu bertahan merawatmu walau dunianya runtuh dan menanggung amarahmu. Banyak hal yang tidak terungkap dalam perjalanan waktu Silvan.”

Silvan tertunduk diam, dia kebingungan. Semua emosi yang dia pendam selama ini meledak tanpa sebab hanya untuk menemui kebenaran yang menyakitkan. Dia tidak tahu, dia tidak tahu lagi siapa yang harus disalahkan, siapa yang harus dia benci.

“Untuk apa kau mengatakan semua ini? Kau ingin membela siapa? Atau kau ingin menyalahkanku karena tidak berusaha memahami?”

“Aku tidak memiliki tujuan apapun Silvan, ini hanya jawaban dari harapanmu. Dalam cerita rumit ini, tidak ada yang salah dan benar, Silvan. Hanya saja, yang benar kadang melakukan kesalahan dan yang salah kadang di dasari kebenaran. Mengukurnya bukanlah hakku, mengukur ‘salah’ dan ‘benar’ adalah mukjizat yang lebih mulia dibanding sihir atau keajaiban apapun. Andai aku memilikinya Silvan, andai aku memilikinya...”

“Apa yang harus aku lakukan?” Suara Silvan bergetar bertanya pada jam tua ini. Emosinya menumpuk, seluruh realitas yang dia bayangkan runtuh, dia mulai kehilangan tempat berpijak.

“Hanya lakukan seperti yang kau rencanakan sebelumnya Silvan, tidak perlu mengubah apapun. Cerita ini hanya memberimu pemahaman, tidak memberimu tujuan. Akan terlalu angkuh bagiku untuk mengajarimu, emosi manusia bukanlah hal yang bisa dipahami jam tua sepertiku. Silvan, aku harap kau menemukan kedamaiaanmu, hal itu akan membawamu kepada utopia yang kau impikan selama ini. Aku mendoakanmu Silvan, aku mendoakanmu...”

Jam itu kemudian berdentang dengan keras membawa Silvan kembali tidur di ranjang tua bersama anak dan istrinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Flash
Lemari Jam Tua
Kerabatu
Cerpen
Bronze
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
ORANG-ORANG SERIGALA
Sri Wintala Achmad
Flash
Bronze
Puzzle History
Miss Anonimity
Cerpen
Bronze
misteri di pumcak gunung
agus tardi rohenda
Cerpen
Bronze
Pohon Terkutuk
Freya
Cerpen
Bronze
Ayah Pulang, Tapi Dia Sudah Meninggal 5 Tahun
Dian Herdiawan
Cerpen
Bronze
SKETSA BAPAK
Kagura Lian
Cerpen
Bronze
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Novel
99
Dianikramer
Cerpen
Bronze
Kematian Halfin Frayser karya Ambrose Bierce penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
Roro Wirenggeni
JWT Kingdom
Cerpen
Bronze
Garnet
Shinta Larasati Hardjono
Flash
Kama
Khairunnisa
Novel
My Paranormal Agency
Patricius Emmanuel Jafes Lita
Rekomendasi
Flash
Lemari Jam Tua
Kerabatu
Flash
Senyum Senja
Kerabatu
Flash
ERR0R
Kerabatu