Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dari kejauhan, perempuan itu berjalan pelan-pelan. Telapak tangan kanannya meneduhi kedua matanya. Terik matahari kian menyipitkan kedua matanya yang bulat dan besar. Raut mukanya benar-benar terlihat sedang marah, telepon dari Bapaknya ia tolak berkali-kali. Ia mengacuhkan panggilan telepon Bapak sampai mematikan ponselnya. Tak lama, ia menepi di halte bus, rambut hitamnya ia ikat, lalu ia duduk di sana menunggu bus yang akan lewat.
Sosok lelaki paruh baya dengan suaranya yang getir menawarkan koran pada orang-orang, dan Aliya perempuan itu yang membelinya. Dengan harga tiga ribu rupiah, Aliya sudah bisa membeli koran yang sudah jarang orang-orang minati.
Di depan halte bus terpakir bus yang menjadi tujuannya, Aliya pun sesegera mungkin masuk bus takut tidak kebagian tempat duduk. Ia berjalan dan duduk di kursi dekat jendela, di sampingnya terdapat sosok lelaki dengan anak perempuannya yang berusia kurang lebih tiga tahun.
Anak perempuan itu menunjuk-nunjuk pada mainan lucu yang dipegangi anak kecil lainnya. "Auuu...Auuu," kata gadis kecil itu. Mau, katanya. Anak itu mau mainan itu.
"Nanti kalau Bapak sudah punya uang, ya," jawab lelaki yang bahunya dikuatkan dan wajahnya tetiba muram. "Nanti kalau sudah punya uang, Ira bisa beli apa yang Ira mau, ya," bujuk lelaki itu.
Aliya hanya tersenyum mendengar percakapan antara anak dan ayah, namun air matanya menitik tanpa diundang. Aliya menghapus air matanya, ia memalingkan wajahnya ke arah jendela. Aliya teringat ada sebungkus cokelat dalam tas, ia pun memberikannya pada sosok lelaki yang berada di sampingnya, "Pak, ini buat Bapak. Biar tiap hari makin senang."
"Makasih, ya, Dek."
Aliya mengangguk dan tersenyum.
"Ayahmu mungkin bangga punya anak kamu, Dek. Semoga hari-harimu juga makin senang juga, ya," ujar lelaki itu dengan senyuman dan keharuan dalam hati.
"Iya, Pak," jawabnya singkat.
Aliya langsung menghidupkan ponselnya kembali, ia mengecek kontak Bapak. Benar saja, mungkin sudah ada puluhan kali, Bapak menelponnya. Aliya langsung menelpon balik dan tidak lama Bapak menjawabnya.
"Aliya," sahut Bapak dalam teleponnya.
"Iya, Pak, gimana?" getir Aliya.
"Maafin Bapak, ya, nanti Bapak bakalan belikan kamu motor. Bapak tahu kamu lelah, pergi dan pulang pakai kendaraan umum, kamu tadi minta Bapak anterin Bapak nggak bisa karena Bapak sibuk."
Kedua air mata Aliya berlinangan, ia menahan isak tangis. Bisa-bisanya sedang menangis, ia masih menahan malu. "Nggak usah beliin aku motor atau kendaraan apapun," bisik Aliya tersedak-sedak dengan gemuruh tangisannya.
"Kan, Bapak udah punya uang buat beliin kamu motor," ucap Bapak.
Aliya menggeleng, "nggak, Pak. Buat Bapak aja uangnya, aku masih bisa pakai bus."
"Iya, kalau kamu nggak mau," lirih Bapak. "Tapi, kalau nanti Bapak punya uang, kita beli mobil yang bagus. Kita jalan-jalan pakai itu ke tempat wisata yang kamu suka, ya."
Aliya tersenyum mendengarnya, "iya, Pak, nanti kita jalan-jalan pakai mobil."
"Bapak tutup telepon, ya, hati-hati di jalan!"
"Iya, Pak."
Bapak menutup telepon dan Aliya sekarang bernapas lega. Ia rebahkan punggung pada kursi. Ia hapuskan air mata di pipi dan kedua matanya. Aliya menarik napas, lalu menghembuskannya. Sekarang perasaannya semakin lega dan cuaca hari ini yang cerah kian gemilang.
"Pak, memangnya seorang Bapak ke anaknya sering bilang 'kalau nanti' buat penenang ke anaknya, juga memastikan keinginan dan mimpi anaknya tetap terwujud?" tanya Aliya pada lelaki yang tengah asyik bermain dengan gadis kecilnya.
"Dua kata itu bukan lagi sebuah penenang di tengah kemustahilan dan ketidakpastian, tetapi doa yang ditaruh pada harapan yang kekal, sehingga dipastikan semua orang tua akan memenuhinya," jawab lelaki itu.
"Apakah Bapakku bangga kepadaku?" tanya Aliya pada lelaki tersebut.
Lelaki itu menganggukan kepalanya, kedua matanya menatap pekat pada Aliya. Senyumannya tidak asing, mungkin itu adalah senyuman setiap Ayah pada anaknya dan pandangan Aliya adalah pandangan anak terhadap Ayahnya.