Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gang Gandaria penuh sesak dengan karangan bunga ucapan belasungkawa, tertulis nama—Ibunda Kami Mbah Seni. Aku mengamati setiap nama pengirim yang tertera, hanya beberapa yang menulis atas nama—Ibunda dari Bunga Cinta, namaku.
Sebagai seorang HRD muda Supermarket Sinar Store, aku pikir karangan bunga dari relasi bisnisku yang membuat gang ini penuh. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka satu per satu melalui sebuah pesan singkat. Tadinya.
Hari ke lima Emak pergi, pelayat masih berdatangan. Banyak dari mereka yang tidak aku kenal. Emak bukan orang kaya raya, Emak bukan orang terkenal, apalagi orang berpengaruh.
Emakku seorang pemilik warteg biasa, di pinggir jalan dekat pasar. Aku terhenyak, apa yang membuat orang ramai berdatangan mendengar kepergian Emak.
“Kita nggak kaya-kaya amat, lebih banyak susahnya. Tapi dia nggak ragu berbagi, meski dia nggak kenal orang-orang yang kebetulan lewat.” Pria China mengenakan batik peony hitam mengusap wajah, mengenang budi Emak.
Sejak tamat SD, aku melanjutkan sekolah dan besar di luar kota, bahkan kuliah di Aussie. Obsesi membuatku lupa, menjalin kelekatan dengan Emak juga hal yang amat berharga apalagi aku anak tunggal. Rasanya semua pencapaianku jadi percuma.
Hari ini warteg Emak buka kembali, aku menugaskan juru masak andalan Emak–Bulik Tina. Aku juga memastikan tidak ada yang hilang dari kebiasaan baik Emak semasa hidup.
“Makasih, Neng.” Pedagang asongan membawa satu bungkus nasi rames.
Pertama kalinya, aku tersenyum bangga bukan karena pencapaianku yang cemerlang. Tetapi karena legasi Emakku yang kini dikenang, aku adalah anak Mbah Seni pemilik warteg di pinggir jalan. Seorang berhati dermawan yang gemar membagikan berbungkus-bungkus nasi rames setelah sembahyang subuh.