Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku selalu percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang hidup, seperti bunga yang merekah setiap pagi, atau detak jantung yang mengiringi tiap tarikan napas. Tapi belakangan, aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada bagian dari diriku yang tak lagi berdenyut.
Hari-hari bersamamu masih sama. Kita masih sarapan bersama, masih saling bertukar kabar, bahkan masih tertawa kecil ketika melihat hal-hal sepele. Dari luar, tak ada yang hilang. Tapi di dalam diriku, sesuatu terasa kosong.
"Ada apa denganmu akhir-akhir ini?" tanyamu suatu malam, suaramu lirih tapi matamu penuh curiga.
Aku menatapmu lama, mencoba mencari kata yang tepat. Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa aku sendiri tidak mengerti? Bahwa aku masih melihatmu, tapi tidak lagi benar-benar melihatmu. Bahwa senyum yang dulu mampu menyalakan seluruh jiwaku kini hanya menjadi kebiasaan yang kuterima tanpa rasa.
"Aku lelah," jawabku singkat.
Itu kebohongan, tentu saja. Aku bukan lelah, aku hampa.
Sejak itu, aku mulai banyak berbicara dengan diriku sendiri. Menggali ingatan tentang bagaimana dulu aku jatuh cinta padamu, detik-detik kecil yang membuat hatiku bergetar. Dan aku sadar, semua itu perlahan memudar, bukan karena kamu berubah, tapi karena aku yang kehilangan pijakan di dalam diriku sendiri.
Cinta kita masih ada, tapi ia seperti lilin yang nyalanya hampir padam. Tidak mati sepenuhnya, tapi juga tidak cukup untuk memberi terang.
"Apa kau masih mencintaiku?" pertanyaanmu suatu malam menamparku lebih keras dari apa pun.
Aku diam. Dan dalam diam itu, aku sadar, aku sudah tak lagi bisa menjawab dengan yakin.
Cinta itu… masih ada, tapi rapuh. Dan aku hanya bisa merasakannya pelan-pelan sekarat di dalam diriku.
Aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi bagaimana mencintai jika rasanya sendiri sudah perlahan mati?