Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sudah tak memedulikan lagi lepuhan di kulit ini, atau panci berdesis, atau uap panas meraup muka. Sejak Ibu memberi titah untuk mengerjakan segalanya dalam satu waktu, tanganku sudah kebal atas berbagai tekanan. Barangkali beliau lupa kalau aku ini cuma manusia biasa yang bisa terbakar api, atau meleleh karena disengat air panas.
“Nis, bau tempenya gosong tuh! Angkat dulu, tapi tehnya jangan lupa! Ingat, mbakmu nggak suka teh kemanisan.” Dari ruang samping, suara Ibu masih berdenging memekakkan telinga.
Aku menarik napas. Lagi-lagi ini perihal kakak yang seolah menjadi pusat dunia. Mbakmu tidak suka ini, dituruti. Mbakmu ingin itu, dipenuhi. Sering kali Ibu berucap, “Tuh, dengar apa kata mbakmu!”
Bagi Ibu, semua tentang kakak adalah segala-galanya. Namun agaknya beliau lupa denganku, si anak bontot yang masih tinggal satu rumah dengannya.
Derum mobil menyambangi halaman rumah, disusul suara riuh dari anak-anak yang berhambur masuk. Tanganku sontak bergetar sewaktu mengaduk minuman di depanku. Bahkan kepulan asap teh yang mengandung L-theanine serta kafein yang seharusnya membuatku rileks jadi tak berfungsi lagi.
Dan, itu suara Ibu menyambut Mbak seolah menjamu tamu agung. Dadaku berdenyut. Suara-suara perempuan itu bagai hantu yang membayang di siang bolong dalam benak. Umur segini kok nggak nikah-nikah, pengen jadi perawan tua kamu?! Cepat cari pacar, harusnya sih tahun ini kamu udah nikah. Lihat, anaknya Pak Zaenal udah sukses, nggak jadi beban keluarga lagi. Makanya, NIKAH!
Aku memejamkan mata sejenak sambil menikmati darah yang merembes dari balik dada akibat ucapan Mbak. Suara anak-anak berlarian dan jeritannya lantas membangkitkan sesuatu dari dalam diriku. Apalagi seruan Ibu yang menyuruhku cepat-cepat membawa suguhan untuk anak kesayangannya, anak yang paling dibanggakannya.
Tanpa menunggu waktu lama, kakiku berderap menuju kamar mandi yang ada di sudut, menyambar botol cairan pembersih lantai, dan lekas kembali ke dapur. Aku membuka tutup botol sembari bersenandung lirih. Sebagai adik yang baik, tentu saja aku akan melakukan semua yang terbaik untuk Mbak. Membuat namanya kian harum di mata Ibu.
“Semoga ini bikin Mbak tambah suka,” gumamku. Tanganku kini menuang cairan dari botol ke dalam teh selagi mengaduknya.
Aku berjalan menghampiri keluarga Mbak di ruang tamu dengan nampan berisi sejumlah makanan berikut teh hangat spesial di tangan. Hanya ada Mbak dan keempat anaknya, tanpa ditemani suami karena mereka sudah resmi bercerai beberapa bulan lalu. Mbak mungkin saja terlalu bahagia dengan kehidupannya hingga menekanku untuk cepat-cepat menikah.
“Ini, Mbak, diminum dulu mumpung anget.” Tanganku menyodorkan sebuah gelas khusus untuknya.
Namun, mbakku hanya bergeming. Mukanya pasi tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir. Sepasang mata itu justru menatapku kosong. Berikutnya sesuatu di luar jendela menyerobot perhatianku. Dia berdiri di sana, menatap kami dengan bibir pucat melengkung dan tangisan pilu tanpa air mata.
Mataku menatap sosok-sosok ini secara bergantian. Perlahan aku menyadari aura tubuh yang ada di hadapanku memudar. Kalau bukan mbakku, lantas siapa dia? Penyesalan merambati hati. Tahu begini, aku tidak akan menatap jendela itu.
*) Finalis 4 FF terbaik di event Romansa Universe.