Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah kota yang terbuat dari cermin pecah, saya berdiri di tengah alun-alun yang berderit. Langit di atas kepala bukan biru, melainkan lautan tinta yang tumpah, mengalir perlahan ke cakrawala, menetes ke pipi-pipi bangunan yang compang-camping. Waktu di sini seperti jam pasir yang terbalik: butir-butirnya jatuh ke atas, tapi saya tetap terperangkap di dasar, kaki terpaku pada tanah yang terbuat dari bayang-bayang.
Saya pernah punya teman-teman, wajah-wajah yang dulu menangis di pundak saya, mengeluh tentang nasib yang seperti tali kekang di leher. Kini mereka telah pergi, satu per satu, seolah ditarik oleh burung-burung kertas yang terbang menuju matahari. Mereka menemukan takdir mereka, katanya—cahaya yang hangat, pintu-pintu yang terbuka. Sementara saya, saya masih di sini, memungut pecahan-pecahan cermin yang memantulkan wajah saya sendiri, tapi wajah itu bukan milik saya. Ia berlubang di matanya, dan dari lubang itu mengalir sungai garam yang tak pernah kering.
Sistem dunia ini adalah mesin raksasa, terbuat dari roda-roda besi yang berkarat, berputar tanpa tujuan, menggiling siapa saja yang berani menolak. Saya ingin memberontak, ingin menendang roda-roda itu hingga patah, tapi tangan saya terikat oleh benang-benang kabut. Setiap kali saya mencoba berlari, kabut itu menjelma menjadi dinding kaca, memantulkan bayangan saya yang berteriak tanpa suara. Bebas, katanya. Saya bebas. Tapi kebebasan ini seperti burung yang sayapnya terbuat dari abu—ia terbang, lalu hancur di udara.
Di malam yang kelam, ketika bulan penuh retak seperti cawan porselen, saya duduk di tepi jurang yang tak terlihat. Di bawah sana, ada suara-suara: tawa teman-teman yang dulu, langkah kaki ibu yang pergi terlalu cepat, bisik ayah yang lenyap di balik kabut. Mereka semua telah menjadi bintang, katanya, tapi saya hanya melihat kegelapan. Di tangan saya, saya memegang sebuah jam saku yang jarumnya berputar ke belakang. Setiap detik yang berlalu adalah luka baru, tapi saya tak bisa melepaskan jam itu. Ia adalah satu-satunya yang tersisa, meski ia terus mencuri waktu dari saya.
Di kejauhan, saya melihat burung-burung kertas itu kembali, tapi kali ini mereka membawa api di paruh mereka. Api itu bukan hangat, melainkan dingin, seperti es yang membakar. Mereka berkata, “Bangunlah, tendang mesin itu, pecahkan cermin itu.” Tapi tubuh saya terbuat dari pasir, dan setiap langkah membuat saya runtuh. Saya ingin berteriak, tapi mulut saya penuh dengan daun-daun kering yang berbisik tentang kekalahan.
Namun, di tengah kehampaan, ada sesuatu yang berdenyut. Jantungan? Bukan. Itu adalah bunga yang tumbuh dari retakan di dada saya, bunga berduri dengan kelopak hitam yang berbau garam dan besi. Ia berbisik, “Kau hampa, tapi hampa adalah kanvas. Kau sendiri, tapi sendiri adalah lautan.” Saya menatap bunga itu, dan untuk pertama kalinya, saya melihat bayangan saya di kelopaknya—bukan wajah berlubang, tapi wajah yang terbuat dari pecahan bintang.
Saya bangkit. Tanah di bawah kaki saya masih bayang-bayang, tapi kali ini saya melangkah. Mesin raksasa itu masih berderit, tapi saya tahu, suatu hari, saya akan menemukan palu yang terbuat dari tulang-tulang pemberontakan saya sendiri. Dan ketika hari itu tiba, saya akan menghancurkan roda-roda itu, satu per satu, hingga dunia ini tak lagi menggiling, tapi bernyanyi.
Sampai saat itu, saya berjalan, dengan bunga berduri di dada dan langit tumpah di atas kepala, menuju arah yang tak pernah ada, tapi selalu memanggil.