Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Diam yang Menghukum
0
Suka
313
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Kursi di ruang makan sudah letih mendengar ketegangan yang berulang. Ia kembali berderit saat istriku menaruh piring dengan sedikit keras. Nasi di atasnya dingin. Sambal menunggu tanpa selera.

“Aku nggak bisa kayak begini terus, Mas,” ucapnya. Suaranya pelan, tetapi makna yang tersaji seperti paku yang dipukul-pukul di atas dadaku.

Aku mencoba menjawab, “Aku udah kirim lamaran ke beberapa perusahaan. Tunggu. Mungkin sebentar lagi.”

Sendok di tangannya terlepas, membentur lantai yang bergaris tak simetris. Dentingnya seakan menjerit: sampai kapan harus menunggu?

Aku paham. Rumah ini adalah tanggung jawabku. Kebahagiaan merupakan kewajiban yang harus terus aku upayakan.

“Kamu pikir anak-anak bisa hidup dari kata ‘tunggu’? Dari janji lowongan kerja yang tak pernah menjadi kenyataan?” Ia menatapku. Matanya merah, hembusan napasnya terasa membakarku. Kuterima amarahnya sepenuh hati.

Ia lantas duduk. Aku menunduk. Piring di hadapanku ikut menutupi wajahnya. Mungkin ia pun malu karena tak berisi lauk. Gelas-gelas kosong menganga kehausan. Lampu di atas meja berkedip-kedip, tak tega menyaksikan.

“Kamu laki-laki, Mas,” lanjutnya. “Tapi apa gunanya kalau kamu hanya duduk, atau pura-pura sibuk di teras? Tetangga sudah mulai membicarakan tentang kita. Dan aku… aku yang menanggung semua tatapan mereka.”

Kata-katanya kian meresap pada lubang luka di tubuhku. Aku ingin melawan, ingin menjelaskan, tetapi lidahku kelu. Diam lebih cepat membungkam sebelum pembelaan tersusun.

Sementara itu, di sudut ruangan, diam tertawa kecil. Ia menepuk pundakku, berbisik tegas: biarkan dia marah, biarkan dia menyalahkan. Jangan menambahkan suluh pada bara api!

Malam menjadi begitu menghukum. Ia pergi, membiarkanku menikmati panas seorang diri. Mungkin kesabarannya sudah tak bisa lagi menampung kesal sehingga tak ada ruang di hatinya untuk mendengarku.

Aku taburkan garam di atas nasi. Mulutku tetap mengunyah. Bukan karena lapar, melainkan karena ia masih bersedia memasak untukku.

Usai perut terisi, aku pindah ke ruang tengah. Kupandangi potret-potret bahagia yang terpajang. Semuanya berteriak, dan yang paling kencang adalah foto tahun lalu. Foto aku, istriku, dan dua anakku. Kala itu, kami menikmati tahun baru dengan berlayar ke Pulau Seribu.

Sekarang, itu masih menjadi kenangan masa kejayaanku yang terakhir. Rindu. Pasti mereka rindu lepas dari situasi sulit ini.

Aku jatuhkan kepala di sofa yang termakan usia. Hening mencabik. Sebuah kapal singgah di kepalaku.

Kapal itu masih berdiri tegak di dermaga. Tubuhnya berlapis karat. Layarnya terlipat rapat. Ia mendengar nada-nada sumbang dari ombak yang mengejek, menelan tatapan matahari yang menuduh, dan melihat kapal-kapal lain pulang membawa hasil tangkapan. Diamnya bukan tanpa alasan, tetapi dunia hanya tahu bahwa kapal yang tak berlayar dianggap tak berguna.

Bayangan kapal keluar dari pikiran, menempel ke dinding. Lambungnya retak, seperti dompetku. Jangkarnya terlalu lama mencengkeram dasar laut, seperti rencana-rencana yang kusimpan rapi di laci. Istriku duduk di dek, wajahnya letih menunggu. Anak-anakku mengintip dari balik pagar kapal, menanti jaring yang tak pernah kutebar.

Aku mengepalkan tangan. Kuku-kuku menggali kulit telapak, membentuk goresan perih. Sakitnya tak seberapa dibanding rasa gagal yang menggerogoti.

Ingin kubanting apa pun yang ada di hadapanku. Ingin kubuka mulut dan mengaum. Aku tak pernah berhenti berpikir, berusaha, dan berdoa. Aku belum tenggelam. Namun, mengapa aku terlihat begitu hina? Mengapa dunia begitu membenci laki-laki yang tengah diam sesaat—bukan merangkulnya?

Aku melihat kepala kapal dan rumah akan bertabrakan. Kapal akan karam, rumah akan hancur, jika aku tidak segera memegang kemudi. Istriku mungkin kehilangan suami, anak-anak kehilangan nakhoda. Aku? Aku akan terkikis sampai tinggal tulang oleh gelombang yang setiap pagi mengulang satu pertanyaan: “Kenapa masih tak bergerak?”

Benar. Aku akan paksa kapal ini berlayar, meski hanya mampu melaut di teluk kecil. Motor tua di belakang bisa menjadi perahu darurat. Cukup untuk berputar dari satu gang ke gang lain, menawarkan tenaga apa saja yang kubisa, menukar keringat dengan uang receh—asal mampu membawa pulang tawa.

***

Keesokan paginya, aku bangun saat kota masih setengah tidur. Udara subuh menyusup lewat celah pintu. Hawa dingin bercampur dengan bau bensin dari motor yang kupaksa hidup. Knalpotnya meraung lemah. Gasnya patah-patah.

Istriku berdiri di ambang pintu. Rambutnya kusut, matanya merah. Anak sulung menguap, menempelkan dahi ke jendela. Si bungsu menyeret langkah dengan kantuk yang masih menggantung.

Semangat yang lama berserak perlahan berkumpul, menyatu seperti papan kapal yang disambung satu per satu. Tanganku gemetar saat menekan tombol starter. Suara mesinnya adalah layar yang mulai membentang lagi.

“Hati-hati ya, Mas!” ujar istriku dengan suara lembut.

Aku meliriknya sebentar, mengulum senyum. Di bibirku ada sesuatu yang ingin kujadikan janji, tetapi urung dilantunkan. Aku memilih menata hari dengan sikap, agar cerah bisa kembali menerangi.

Aku melaju penuh harapan. Jalan masih basah oleh embun. Kapal yang lama berdiri di dermaga tak lagi menjadi besi tua yang hina. Ia berani memandang ke laut, membuka arah sedikit demi sedikit.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Bronze
Perahu Tanpa Dayung
Herman Sim
Flash
Diam yang Menghukum
Jasma Ryadi
Novel
Bronze
Yuko
Juli Mekariani Simbolon
Novel
Bronze
Chococinno Lover
nuri dhea s
Novel
Damai Atas Luka
Nuriska Beby
Novel
Karma Untuk Maya
Aisyah swan
Flash
Maaf pada Bapak
Chie Kudo
Novel
Bronze
Star-crossed
Liz Lavender
Novel
Bronze
PENGANGGURAN CUMLAUDE
Abdul Khair
Skrip Film
Kami tidak baik-baik saja
gazella ezra
Flash
Bronze
Aku Menulis Lagi
Lisnawati
Flash
Bronze
Asisten Paling Paten
Afri Meldam
Novel
Tanda Lahir
Era Chori Christina
Novel
Apapun Bisa Kita Gapai
suci wulandari
Novel
KHAJANA
Anisa Saraayu
Rekomendasi
Flash
Diam yang Menghukum
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Prenuptial Agreement: Cinta di Atas Materai
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Rasa yang Tak Bisa Kembali
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Flash
Tuhan, Jadikan Hariku Senin Selalu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Rumah dan Rumah Itu
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Flash
Ikan adalah Luka
Jasma Ryadi
Novel
Mereka di Sini
Jasma Ryadi
Flash
Museum Kenangan
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Giant's Heart
Jasma Ryadi
Flash
Satu Langkah Setelah Luka
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Ketika Kata-Kata Kembali
Jasma Ryadi
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Bingkai Tak Berujung
Jasma Ryadi