Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sedang berjalan pulang dari demo. Dari gelap semalam, ke dalam pagi lagi. Ditemani kisruh berita di sosial media dan seutas pesan singkat dari sahabatku, yang mencak - mencak karena semangkuk nasi dari genggam beras terakhir miliknya, kejatuhan cecak.
“Mana nasi tinggal segitu segitu nya. Sudah kayak anggota DPR anjir ngerampas hak nya”
Aku menghela napas, melihat ke langit dengan pelipis tersayat yang berdenyut perih. Di atas sana biru cerah, polos tak berawan. Pagi tetap membentang indah, meski di bawah sini banyak masalah. Dari perkara remeh macam cecak di atas nasi, sampai Aku, yang semalam nyaris mati, tapi masih di sini.
“Anjisss! Sekarang jemuran gw di e’e-in burung!” kalimat penuh angkara murka itu muncul di ruang percakapan kami.
Ingin sekali kubalas umpatannya dengan serangkaian nasihat. Mungkin dia perlu mengaku dosa. Mungkin dia harus bertobat dari kegemarannya menggunjingkan aib orang. Bisa jadi mulut celakanya itulah yang membawa petaka dan Membuat jalan karmanya buruk. Sungguh, ingin kubalas begitu. Tapi … kuurungkan. Aku sudah lelah dan cuma ingin pulang.
Di emperan minimarket yang porak poranda dijarah massa, aku berhenti untuk mengistirahatkan kakiku yang luka.
“Udah gak ngerti lagi! Ada apaa sihhh hari ini?!” Dia kembali mengomel.
Pesan itu tak kubalas. Kubiarkan mataku terpejam, berpasrah pada kantuk yang menelan bising di sekeliling ke dalam hening.
Hidup memang selalu punya kejutan. Sekarang aku masih di sini, entah malam nanti.
Tidak ada yang bisa mengira akan jadi apa hari ini. Seperti kita tak pernah tahu kapan ada cecak jatuh ke mangkuk nasi, atau kapan tahi burung mendarat ke atas baju yang baru dicuci.
Bandung, di peralihan Bulan Agustus dan September 2025. Kala kota tempatku tumbuh besar sedang tidak baik - baik saja.