Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua orang pria berusia senja sedang berjalan menyusuri taman sore itu. Meski tua, tetapi langkah-langkah mereka masih tegap dan lincah. Matahari mulai menampakkan cahaya jingga di langit yang semakin memperindah suasana. Lalu mereka memutuskan untuk duduk di atas bangku taman sambil mengobrol tentang banyak hal semasa hidup.
“Ken, sudah berapa lama kita mengotori tangan kita?” tanya pria bertopi abu-abu di sampingnya.
“Entahlah F, duapuluh lima?” Si pria setengah botak menjawab sambil tertawa.
“Kurang tepat, menurutku duapuluh empat sembilan bulan.”
“Hahaha.., kau selalu berhitung, coba kau hitung berapa jumlah korban kita?”
“Tak lebih dari sepuluh.”
“Ayolah.”
“Delapan.”
“Hahahaha..lucu ya? Kita menjadi pembunuh bayaran selama puluhan tahun, tapi yang mati hanya delapan hahaha..”
“Korban kita bukan orang biasa ya kan?” F berusaha membanggakan karir mereka.
“Benar sekali, ngomong-ngomong kau punya tujuan setelah ini?”
“Tidak Ken, kalau kau?”
Pria setengah botak itu menyulut rokoknya, “Ah, mungkin aku akan memulai hidup baru, menikah, punya anak, dan banyak lagi.”
“Kau sudah punya calonnya ya?”
“Tentu saja! Ingat Lucy? Dia adalah gadis kedai kopi yang cantik, kau pasti terkejut saat aku berkata aku sudah berpacaran dengannya selama empat tahun terakhir.” Ken terlihat sangat bersemangat.
“Dia tidak curiga padamu?”
“Sama sekali tidak.”
“Wah hebat! Aku bukan tipe pembohong sepertimu, kali ini mungkin kita harus jujur satu sama lain.” F juga ikut-ikutan menyalakan rokok.
“Jujur?”
“Ya, ngomong-ngomong apa yang kau benci dariku?”
“Semuanya.”
“Serius? Aku juga.”
Hening sejenak, tak ada suara kecuali burung-burung.
“F?” Ken memandang ke arah jingganya langit.
“Ya?”
“Kau ingat kan kalau kita akan membunuh untuk terakhir kalinya?”
“Aku ingat, itu adalah hari ini.”
“Siapa yang akan kau bunuh?”
“Orang yang paling kubenci.”
“Aku?”
“Tepat sekali.”
“Jadi rencana hidup baruku gagal ya?” Ken terlihat kecewa.
“Dan kalau kita tak saling membunuh, mungkin bahayanya lebih besar lagi, Lucy mungkin akan jadi korban balas dendam mereka.”
Ia menghela napas, “Tak perlu hidup baru lah kalau begitu, sebenarnya kau juga orang yang paling aku benci, jadi aku akan melakukan hal yang sama.”
Matahari semakin menghilang, dan gelap pun tiba. Lampu-lampu jalan dinyalakan. Kedua pria ini pergi menuju bar untuk minum-minum dan menghabiskan waktu menari bersama, sebelum mereka pergi ke tengah lapangan terbengkalai.
“Kita minum sedikit tadi Ken, jadi kita tak akan salah taruh pistol.”
“Terserahlah F, memangnya sudah kau isi?” Tanya Ken sambil mengeluarkan pistol dari balik jas lusuhnya.
“Kau sendiri sudah mengisinya?.” F tertawa kecil.
Ken ikut tertawa, “Tentu saja!”
“Ah, tentu.”
Dengan muka penuh senyum mereka berdiri saling berhadapan. Pistol di kedua tangan mereka menghadap jantung lawannya.
“Senang menjadi partnermu Ken.”
“Aku juga F, sampai jumpa di neraka.”
“Satu.”
“Dua.”
Mereka mengucap bersamaan, “Tiga!”
Dor!
Ken, pria setengah botak itu tumbang di atas tanah sendirian. Senyum F lantas berubah menjadi ekspresi yang menakutkan. Sambil menunggu ujung pistolnya kembali dingin, F menunduk dan mendekat ke pada tubuh Ken yang sudah tidak bergerak lagi. Ia melepas topinya untuk berkabung sejenak.
"Aku sudah mengatakannya sejak dulu, sebaiknya aku tidak boleh menjadi bapak mertuamu, aku pikir kau harusnya sudah tahu itu sebelumnya." F lalu memainkan pistol di tangannya dengan gampang, "Ada untungnya juga kukeluarkan pelurumu di bar tadi."
F memakai topinya kembali dan memasukkan pistolnya ke balik jas, lalu ia pergi begitu saja dari tempat tersebut tanpa sepatah kata pun.
Tamat.