Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Silakan masuk, Dio. Duduklah kau di sofa itu. Santai saja.”
Wajah saya semringah dan mempersilakannya untuk duduk bersama bersehadap di sofa ruang tamu. Agni, si Bungsu, dia menyalami tangan saya, berpamitan, “Ni pergi ke toko buku ya, Mas,” katanya.
Beberapa kali saya menggeleng-gelengkan kepala, menyambut anak muda ini, Dio, si Kepala Berasap. Bagaimana tidak? Asap yang seakan-akan mengepul di kepalanya itu jelas terlihat dari ekspresi wajahnya yang me-merah. Terbakar dupa hatinya, entah oleh cinta atau mungkin ..., cemburu. Boleh jadi dia sedang jatuh cinta atau barangkali, cintanya ditunggangi amarah. Yah, tapi sudahlah. Jika lelaki berbicara tentang cinta, amarah, cemburu dan tunggang-menunggangi, konotasi ‘tunggang-menunggangi’ akan melebar bias ke mana-mana dan berceceran dengan gelak. Minimal gelak manis dan terparah, gelak setan.
“Eh iya, kau enggak menemani Ni?”
“Tidak.”
Masih dengan semringah saya menanggapi jawaban si Kepala Berasap. “Mau minum apa?”
“Enggak—enggak. Ada hal penting. Kita harus bicara.”
Dio sepertinya tidak main-main. “Oke-oke, Dio. Bicaralah.”
“Kenal W?”
“W?”
“Windy.”
“Windy?”
“Sudah ..., jangan banyak berkelit.”
“Sebentar-sebentar. Relasi saya juga banyak yang memiliki nama ‘Windy’. Ini Windy yang mana?”
Benar-benar rupanya Dio sudah ditunggangi amarah. Wajahnya mengeras. Tulang pipinya mencodak tegas, pertanda jelas ada hal penting berkaitan nama ‘Windy’. Saya anteng-anteng saja. Menghadapi anak muda “berasap” ini tak perlulah dengan berapi-api. Pagutan pengalaman hidup saya memberikan pengajaran bahwa: hadapi api dengan air, ucapan dengan mendengarkan, salah paham dengan penjelasan.
“Pantai Klayar, Mas Naren ingat?”
Bah! Haish! Alamak! Ataupun apa sajalah ‘kata’ untuk penegas keterkejutan saya demi mendengar “Pantai Klayar”. Saya sama sekali tidak menyangka, bagaimana bisa Dio tahu janji bertemu saya dengan Windy di sana?
“O-hohoho, Windy. Ya-ya-ya. Saya kenal Windy. Kaukenal Windy juga, Dio?”
“Ya. ‘Pantai Klayar’.”
Semprul 'kurang ajar' pula ini si Kepala Berasap. Dia kira saya tidak mengerti ejekan ‘Pantai Klayar’ serta tatapan sinisnya.
“Hmm, lantas, hal penting apa yang mau kautanyakan?”
“Tidak ada yang spesial ‘kan pertemuan yang batal di Pantai Klayar?”
Isi batok kepala Dio ini rupanya sudah pekat akibat hatinya terhelat prasangkanya sendiri. Tidak ’kah dia mengenal saya, sang kakak dari Agni? Tidak ‘kah dia mengenal Sekar? Dan tidak ‘kah Dio mengenal si Kembar?
Prasangka sering kali menjadi pengasung logika. Apatah lagi jika cinta sudah bersemayam di hati. Dan Dio ..., mencintai Windy. Gelagat yang tak mungkin lagi saya tafsirkan lain karena jelas ada sesuatu yang berbeda di ujarannya ketika nama ‘W-; Windy’ itu terucap dari bibirnya. Baru saja saya bisa menyimpulkannya setelah pertanyaannya tentang Windy dan Pantai Klayar.
Namun, ada satu hal yang harus Dio tahu dari saya, bahwa saya ..., tidaklah serendah sindirannya tentang “Pantai Klayar”. Bercinta tidak sesempit pemahaman orang-orang yang “terjepit akal”-nya. Ada cinta sang hamba kepada Sang Ilahi. Ada cinta tentang alam. Ada cinta tentang seni. Ada cinta tentang keluarga, sahabat, sejawat yang masing-masing sudah ada loh-lohnya di hati; tercatat dan tersimpan rapi di buku-ingatan manusia. Dan, perihal bercinta, ada yang merindu.
Dan ada rindu saya sebagai sahabat atas nama cinta kepada: W-; Windy. Salahkah?
“Tidak ada. Kami berdua bersahabat baik, Dio.”
Si Kepala Berasap, berubah semringah.