Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sepi sejurus.
Dua jurus ….
Tiga jurus ….
Udara pun menghantar pengeng teriakan "huaaaaaa" bersama jurus menghentak dari tubuhnya yang sigap berbalik. Jurus langkah kaki seribu dari Padepokan Kaki Seribu pontang-panting ditampilkan Riketing. Hampir sempat dia terpelanting jika saja telapak kakinya lupa kembali menapak di pekuburan desa.
Bergantian dengan tarik-ulur napas di dada yang kembang-kempis, Riketing menggumam-gumam, "Jurus pamungkas yang ampuh." Berulang-ulang dia merapal gumaman itu sembari bercongkak muka.
Janganlah salah menduga kiranya Riketing kalah bertarung di pekuburan desa itu. Setiap petarung bertarung mengeluarkan jurus andalan pada detik-detik akhir, begitu pula yang dilakukan oleh Riketing.
Bukan pula Riketing menampilkan jurus itu tersebab kalah melawan makhluk seperti kuntilanak, kuntilibu maupun kuntilbapak, di pekuburan desa itu. Bukan! Lagi pula pekuburan itu memang tempat para jawara bertemu; bertarung, lalu jawara yang keok; mati, dikuburkan di tempat itu. Sedemikian banyak jawara yang mati tak bernisan terkubur di tempat itu sehingga sebutan "pekuburan" lebih tepat ketimbang sebagai tempat para jawara bertarung menampilkan jurus-jurus andalan.
Budaya jawara petarung seperti si Jampang, si Pitung, yang rela menggunakan jurus-jurusnya melawan kompeni akibat disebut inlander, sungguh berbeda dengan Riketing, jawara yang entah hidup di zaman apa, melawan siapa, atas dasar apa.
Konon desa itu pun masihlah bertanda tanya, akibat sebegitu luas desa itu, dan berpenghuni bermilyar jumlahnya. Riketing, satu di antara milyaran mereka yang hidup di desa itu, yang juga hidup entah di peradaban apa.
Namun yang pasti di peradaban pada masa Riketing hidup, jurus seperti jurus membelah diri, jurus kamuflase penampakan, jurus serupa tapi taksama, adalah perkara jurus-jurus biasa saja. Bukanlah itu semua jurus andalan, dan Riketing pula mampu menguasai itu semua jurus sejak dia "terlahir".
Kuburan di tempat itu pula tak bernisan sebab konon jawara yang keok; mati, lalu dikuburkan di pekuburan desa itu, boleh dimampukan untuk bereinkarnasi, asalkan semua data sebagai syarat untuk terlahir kembali terpenuhi. Barangkali itulah citra peradaban surgawi yang kekal.
Setelah usai dari hajatnya, Riketing pun keluar dari toilet warnet langganannya, melangkah membusungkan dada dan berteriak, "Tambah dua jam lagi, Bos."
Yang dipanggil "bos" pun semringah menyahut, "Oke deh, Kakak", selagi Riketing duduk dan mulai melanjutkan bermain game online di warnet langganan.(°.°)