Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suasana rumah oma Nani tampak sudah ramai dengan para tamu tahlilan saat kami sekeluarga tiba disana. Biasanya aku selalu senang dan bersemangat setiap kali mengunjungi rumah tempat ayahku dibesarkan itu, namun tidak untuk kali ini. Perasaan sedih dan duka yang mendalam masih sangat terasa. Apalagi saat memasuki gerbang rumah tersebut dan langsung melihat jendela kamar om Rino yang tampak temaram. Seolah ikut merasakan perih ditinggal pemiliknya.
Perasaan perih itu juga lah yang mungkin masih dirasakan papa, hingga meskipun lahan parkir masih tersedia di garasi, ia lebih memilih memarkirkan sedan hitamnya persis didepan kamar om Rino. Untuk beberapa saat papa masih termangu ditempat duduknya sambil terus menatap kearah jendela kamar adiknya itu dengan mata nanar.
Masih jelas diingatanku bagaimana terpukulnya papa saat menerima kabar kepergian om Rino kemaren siang. Kecelakaan mobil di jalan tol telah meranggut nyawa adik bungsu kesayangannya itu. Yang menyesakkan adalah mereka baru saja bertemu di restoran favorit si bungsu untuk makan siang bersama. Termasuk dengan adik kedua papa, om Rako. Makan siang yang sangat menyenangkan, dimana ke tiga bersaudara itu merayakan kesuksesan perusahaan mereka dalam memenangkan tender sebuah proyek besar. Papa sungguh tidak menyangka bahwa itu akan jadi kali terakhir ia bersenda gurau dengan sang adik. Kali terakhir merangkul sang adik saat mereka saling berpamitan di lapangan parkir restauran untuk pulang ke rumah masing-masing. Karena persis ketika papa sampai dirumah, ponselnya pun berdering membawa kabar mengagetkan itu.
Tangan lembut mama di bahu papa menyadarkannya dari lamunan yang muram. Mama mencoba tersenyum membesarkan hati papa. Meskipun aku tahu mama sendiri cukup terpukul menerima takdir bahwa adik ipar yang selalu bisa diandalkannya itu telah pergi untuk selamanya. Papa membalas senyum kecil mama, menarik nafas panjang, sebelum akhirnya benar-benar beranjak keluar mobil.
Sesampainya didalam rumah kami sekeluarga disambut oleh om Rako beserta istri dan anak-anaknya. Sama seperti papa, om Rako pun masih tampak muram dan terguncang dengan kenyataan yang baru saja menghantam keceriaan di keluarga besar kami itu. Oma Nani yang kami hampiri selanjutnya mungkin adalah yang paling terguncang. Nenek dengan 3 anak dan 4 cucu itu tak kuasa menahan tangisnya lagi saat melihat papa menghampirinya. Ibu dan anak itu pun berpelukan haru melampiaskan kesedihan mereka.
“Doakan terus om Rino ya sayang, biar dia senang disana sama opa-mu,” pinta oma lirih saat aku menghampiri dan memeluknya. Air mata yang dari tadi kutahan akhirnya terbebas juga, dan aku pun menangis terisak di dada oma. Teringat lagi bagaimana baik dan royalnya om Rino padaku selama ini. Sifatnya yang ceria dan menyenangkan membuatku semakin berat untuk menerima kenyataan bahwa paman termudaku itu telah tiada.
Acara tahlilan malam ke 2 untuk almarhum om Rino berjalan dengan lancar. Papa sesekali tampak menepuk pundak om Rako yang lebih banyak diam dan sering tertunduk sedih. Sementara mama terus berada disamping oma. Nenekku itu tampak berusaha mengikuti lantunan ayat-ayat suci Alquran, meski diantara linangan air mata yang sesekali masih mengambang.
Tak lama setelah acara selesai, aku beranjak menuju dapur untuk mengambilkan minuman buat oma. Niatku untuk kembali ke ruang tengah dengan segelas air hangat di tangan, terhenti oleh suara langkah-langkah kaki yang terdengar samar. Melalui jendela dapur aku melihat om Rako berdiri sendirian di teras belakang. Aku tertegun. Seperti papa, om Rako juga pasti masih sulit menerima kenyataan pahit ini. Tidak ingin melihat pamanku itu terus tertunduk lesu, aku pun berniat untuk menghampirinya. Namun tanganku tertahan di gagang pintu saat kulihat seseorang datang menghampiri om Rako.
“Gimana, sudah beres?” terdengar suara om Rako bertanya setengah berbisik.
“Sudah pak,” jawab laki-laki lain itu.
“Kau yakin tidak salah mobil lagi kali ini?”
“Tidak pak, mobilnya sedan hitam yang didepan kamar mas Rino itu kan?”
“Ya. Jangan sampai salah lagi. Anak pungut yang mau menguasai perusahaan ayahku itu yang harusnya kau habisi, bukan adik kandungku!”
“Siap pak!”
Praaankk!! Gelasku jatuh berkeping-keping.
TAMAT