Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sejak awal, Septian pandai membuat kata terasa seperti janji. Namun, aku justru menelannya. Menjadikannya bagian dari daging yang tumbuh di tubuhku.
Ia mengukir malam-malamku dengan tawa yang tahan berjam-jam di telepon, pesan singkat sebelum tidur, dan genggaman tangan yang membuat keramaian kampus serasa menghilang. Aku percaya, selama tangan kami saling bertaut, tak ada yang mampu memisahkan.
Sayangnya, semuanya semu. Atau mungkin tepatnya hanya upayaku sendiri untuk mempertahankan rasa. Sebab, perlahan jari-jarinya mulai longgar, tak lagi mencengkeram erat. Hingga aku tak yakin yang kugenggam masih tangannya, atau sekadar bayangannya. Semuanya kian kabur ketika memasuki tahun kedua jalinan kasih.
Manisnya hubungan mulai berubah pahit di lidah dan pedih di mata. Pertemuan yang dulu diakhiri senyum dan tawa, justru berganti saling diam atau melempar nada tinggi.
Aku mencoba melihat diriku, menyalahkan sikapku yang mungkin menjadi penyebab semua keretakan. Mungkin aku terlalu posesif. Mungkin aku terlalu mudah tersulut cemburu. Namun, di tengah usaha mencari celah kesalahanku, berita-berita sumbang datang dari suara angin dan burung. Katanya, mereka melihat Septian bergandengan dengan perempuan lain.
Lucunya, aku selalu menepisnya. Perempuan itu sepupunya. Bisa jadi teman biasa, satu kelas atau satu kelompok. Apa saja, asal bukan kekasih barunya, meski aku tak tahu tentang silsilah kehidupannya. Aku memilih kebohongan yang menenangkan daripada kebenaran yang menghancurkan.
Cinta. Ternyata begitu menyakitkan. Aku seakan terjerembab di lubang yang kugali sendiri.
Ketika aku meminta penjelasannya, ia balik mempertanyakan perasaanku. Ia menuduhku, memainkan situasi seolah aku yang ingin pergi. Padahal, keinginanku hanya satu: jika memang tak ada lagi rasa di hatinya untukku, aku ingin berpisah tanpa luka yang dalam.
“Jadi, kamu aku ingin putus dari aku? Oke,” katanya dengan suara bergetar. “Aku sadar, aku masih banyak kekurangan. Aku belum sepenuhnya pantas untukku. Tapi aku tidak percaya kamu lebih percaya pada orang lain dibanding sama aku.”
Kalimat-kalimatnya begitu sendu nan syahdu. Aku jadikan doa. Aku jadikan sebagai landasan permohonan maaf. Ya, ujung-ujungnya, aku yang memohon untuk tetap bersama. Menjatuhkan harga diri serendah mungkin. Selalu begitu. Hingga aku tenggelam di dasar ucapannya, dan hanya uluran tangannya yang kuanggap akan menjadi penyelamat.
Bodoh. Buta. Tuli. Itulah aku.
Aku menyadari hubunganku dengan Septian sudah tidak sehat. Namun, dalam benakku bayangan hari esok yang lebih baik selalu menggantung di pelupuk mata. Aku belajar memahami awan pun butuh mendung untuk menyirami bumi.
Tidak. Tidak lagi. Sampai akhirnya aku tidak mau hujan terus membasahiku, dan hanya menyiksaku.
Sore itu tangisan langit baru saja reda, aspal memantulkan cahaya matahari yang tipis. Aku keluar dari supermarket dengan dua kantong belanja di tangan. Di tepi jalan, halte penuh sesak. Aku berdiri di ujung sambil merapatkan jaket. Pandanganku lurus, menanti angkot lewat, menghitung lalu-lalang kendaraan.
Di seberang jalan, sebuah motor Nmax berhenti tepat di depan hotel melati. Jantungku berdebar, tersambar kilatan. Stiker kecil di dekat jok itu, goresan panjang di spatbor belakang—aku hafal seperti hafalnya wajahku di cermin. Tak perlu menebak, walau ingin berteriak.
Septian.
Ia turun dari motor, membuka helm, lalu memutar badan ke sisi belakang. Seorang perempuan ikut turun. Pakaiannya ketat, membentuk lekuk tubuh. Rambutnya panjang, tampak basah di ujungnya.
Septian meraih lengan perempuan itu. Kemudian, dengan gerakan yang sudah bertahun-tahun kukenali, ia menuntunnya menepi. Tangan yang dulu menggenggamku penuh janji, berbalik begitu mantap di punggung perempuan lain.
Aku terpaku. Suara klakson dari jalan nyaris tak menembus telingaku. Udara di sekitar terasa rapat, dingin, dan menampar.
Tangaku meraih ponsel di dalam saku. Kutekan namanya berkali-kali di layar. Hanya nada sambung panjang yang menjawab.
Setelah belasan kali menelepon, akhirnya ia mengangkat. Aku diam. Lidah tak mampu bersuara, padahal ada banyak kata kecewa yang ingin kuluapkan.
“Aku lagi di jalan. Telepon lagi nanti,” ucapnya dengan suara datar, dan lalu memutuskan sambungan sepihak.
Aku terhenyak, tersungkur di atas trotoar. Perih, pilu, dan sesal mencabik batin tanpa ampun.
Keesokan paginya, aku mendatangi kosnya. Ia memanaskan motor, memakai kemeja yang sama seperti kemarin sore. Aku kumpulkan semua keberanian untuk menyelamatkan hatiku.
“Tolong jawab dengan jujur! Apa—"
“Itu bukan aku,” ucapnya sebelum pertanyaanku selesai. “Harus berapa kali aku bilang biar kamu percaya?”
Aku menatap motornya dengan cermat. Mengamati setiap inchi, dari warna hingga plat yang tak mungkin berubah dalam semalam.
“Kalau cuma mau ngajak ribut, pulang saja,” lanjutnya, menaiki motor.
Ia tidak hanya mengusirku, ia meninggalkanku tanpa rasa peduli. Kutahan air mata. Kuayunkan kaki dengan tegar menuju kampus.
Selama di kelas, aku tak henti menyemangati diri. Benar atau tidak yang kulihat tentangnya, sikapnya sudah semestinya kupandang sebagai pengabaian terstruktur. Lalu, untuk apa melanjutkan hubungan yang sudah dipenuhi jarum-jarum api, bukan?!
Sore merambat tanpa kehangatan. Aku berjalan pulang sembari melepaskan semua beban. Meninggalkannya menjadi tapak-tapak sepatu yang tak akan lagi kuinjak. Di sudut parkiran yang sepi, aku mendengar gelak tawa yang nyaring. Septian duduk bersama Dewa, Rico, dan Nugi.
“Jadi gimana cewek yang kemarin, Sep? Kuat berapa ronde lu?” tanya Dewa, disusul suara terbahak-bahak yang makin pecah.
Helm di tanganku terlepas. Bunyi kerasnya, yang berbenturan dengan paving block, membuat mereka menoleh berbarengan.
Mereka tak lagi bersuara. Hening. Terus memperhatikanku.
Aku melaju melewati mereka. Septian mencoba menangkap tatapanku, tetapi aku hanya memandang lurus ke depan. Semuanya sudah sangat jelas. Aku merasa bersyukur dan terselamatkan, meski awalnya masih berusaha menyangkal.
Malamnya, aku menghapus namanya di ponselku. Tidak ada lagi gambar wajahnya. Tidak ada lagi percakapan dengannya yang tersimpan. Bukan untuk melupakannya, tetapi untuk berhenti mengulang luka.