Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tragedi Maudu Lompoa
Oleh: Aldi A.
DI dalam pete-pete yang melaju dengan kecepatan sedang, Nurli mencoba memunguti kenangan. Sewindu sudah perempuan yang tahun ini akan menginjak usia dua lima tersebut tak pernah menapak tanah kampung halaman. Pasalnya, selepas lulus SMA silam, Nurli mesti membenahi hatinya yang remuk redam. Cintanya pada seorang lelaki yang jauh lebih dewasa, mendapat penolakan dari Indo tanpa alasan yang jelas. Selain selisih umur mereka yang menyentuh angka sepuluh.
“Makkunrai e nasalai kanengnna nasaba melo tuo sibawa burane ya napoji e, burane ya de dipatturue ko tomatoangnna, pappada napalosu-losu alena, napacumpa gau-gauna kanengnna.” Begitu ucap ibunya kala itu, ketika Nurli pernah mengutarakan kalau dirinya hendak melakukan silariang. Namun, pada akhirnya rencana itu tak benar-benar terjadi. Sebab, tak mungkin Nurli tega mencoreng nama baik keluarga.
Merantau ke pulau seberang di usia yang terbilang belia, menjadi satu pelarian terbaik yang kala itu melintas di kepala Nurli. Menenggelamkan diri dalam rutinitas pekerjaan sebagai seorang kasir di sebuah toko retail, menjadikan perempuan berambut gelombang itu pelan-pelan melupakan luka. Tak ingin ia berkubang lama-lama pada nestapa. Lantas, seiring waktu bergulir, pun borok di dada Nurli mulai mengering, perempuan tersebut memantapkan diri untuk kembali menyesapi hangat udara tanah kelahiran. Biar bagaimanapun, rindu benar Nurli pada apa-apa yang selama ini ia tinggalkan. Termasuk pada sosok Indo yang ia yakini masih akan tetap tampak cantik dan memesona meski masa telah menelan sebagian usianya.
Delapan tahun meninggalkan Takalar, Sulawesi Selatan, bukanlah jangka waktu yang sebentar. Tepat pada perayaan Maudu Lompoa kali ini, dari atas pete-pete, Nurli kembali menekuri jalanan panjang menuju Desa Cikoang, sekaligus pusat bagi perayaan Maulid Nabi bagi masyarakat Makassar dan sekitarnya. Setiba Nurli di tepi Sungai Cikoang, ia memutuskan untuk turun. Padahal jarak rumah Balla tempat ia dilahirkan dan letak ari-arinya dipendam, masihlah berjarak beberapa kilometer ke arah barat. Namun, perempuan itu sama sekali tak peduli. Ia hanya ingin kembali menyinggahi tradisi yang selalu berhasil membangkitkan kerinduannya ketika jauh dari kampung halaman seperti kemarin-kemarin.
Dari tempatnya berdiri, pandangan Nurli mampu menziarahi ragam kapal-kapal yang dihias kain warna-warni beraneka rupa. Pun sepasang indra pendengaran perempuan itu, menangkap alun tabuh gendang tradisional yang bertalu-talu di sepanjang pesisir. Sungguh, Maudu Lompoa berhasil menjadi salah satu tradisi yang menyatukan unsur agama dan budaya lokal yang dipelihara dengan baik secara turun-temurun.
Nurli mencoba menggeser langkah beberapa tapak dari posisi semula. Kini, sepasang manik mata perempuan itu beralih pada sebentuk kapal kayu yang disebut julung-julung yang tengah diarak-arak oleh belasan warga. Sedang puluhan—atau bahkan ratusan—lainnya, ikut mengekor di belakang. Di dalam kapal hias yang dipikul para lelaki dewasa tadi, terlihat berbagai macam hasil bumi dari wilayah sekitar Takalar, termasuk telur rebus yang turut diwarnai. Julung-julung itu nantinya akan dilabuhkan pada salah satu titik aliran Sungai Cikoang.
Nurli terlihat tersenyum lebar. Mendapati segala pemandangan yang ada di depan mata, ingatan Nurli seolah dipaksa untuk mengingat kembali kenangan masa kecilnya dulu. Setiap perayaan Maudu Lompoa datang, Nurli kecil yang telah ditinggal mati sang ayah sejak masih dalam kandungan, akan selalu antusias mengikuti ibunya lebur di antara iring-iringan warga. Selepas ceramah agama, pembacaan syair dan selawat nabi akan dilantunkan dengan meriah. Dari bibir mungil Nurli, ritual yang disebut rate’ tadi akan terdengar yang paling antusias. Mengingat itu semua, sekali lagi sepasang sudut bibir Nurli terangkat. Mata perempuan itu pun turut berkabut.
Belum tunai Nurli melepas kerinduan pada segala kenangan masa kecil yang sempat ia tinggalkan, sepasang netranya tiba-tiba menangkap bayang laki-laki yang dulu sempat membuat hatinya patah. Bercempera. Namun, kali ini, ketika ia kembali menemukan wajah lelaki yang sama, luka yang semula hampir mengering di dada Nurli, seolah kembali dicabik paksa. Malah rasanya jauh lebih sakit dan parah dari sebelumnya. Sebab, di kejauhan, di belakang iring-iringan julung-julung yang diarak, Nurli bisa dengan jelas memandang lelaki yang usianya jauh lebih dewasa darinya itu tengah merangkul mesra seorang perempuan berparas menawan. Benar dugaan Nurli, di usia yang tak lagi muda, nyatanya ibunya itu kini masih terlihat memesona.
Sekarang, pahamlah Nurli tentang mengapa dulu Indo-nya itu melarang keras ia untuk menikah dengan anak tauke ikan itu!
***