Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Sudut Kamera
0
Suka
112
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Di ruang ekstrakurikuler fotografi yang sunyi, bau kertas foto bercampur dengan cairan kimia samar memenuhi udara. Alif berdiri di dekat dinding, menempelkan hasil cetakan foto-foto acara sekolah kemarin. Deretan senyum, tawa, dan ekspresi murid-murid terbingkai rapi, seakan dinding itu menyimpan potongan hidup mereka. Alif bekerja dengan tenang, matanya meneliti setiap sudut foto, memastikan posisinya presisi.

Tiba-tiba suara pintu berderit. Alif menoleh sebentar. Sosok yang masuk membuatnya sedikit terkejut—Cio, Ketua OSIS sekaligus kakak kelas yang dikenal karismatik, berdiri di ambang pintu.

“Oh, kamu di sini, Lif,” ucap Cio sambil melangkah masuk.

Alif hanya mengangguk, tangannya tetap sibuk menempel foto. “Ada perlu, Bang?”

“Enggak… cuma lewat. Kebetulan lihat lampunya nyala, jadi mampir.” Cio berjalan mendekat, matanya menyapu foto-foto yang dipajang. Ia berkomentar ringan, memuji beberapa hasil jepretan, bercanda tentang ekspresi murid-murid yang tertangkap kamera.

Namun langkahnya terhenti pada satu foto. Seorang gadis dengan senyum lembut, tatapannya lurus ke arah kamera. Shani—wakil ketua OSIS, sekaligus salah satu murid paling populer di sekolah. Alif yang menempelkan foto itu bisa merasakan tatapan Cio yang mendadak terpaku.

Alif tak menoleh, tangannya tetap sibuk merapikan sudut kertas. Tapi suaranya pelan menembus keheningan.

“Kalau hanya mau lihat-lihat, nggak masalah. Tapi sepertinya ada yang mau kau ceritakan.”

Cio tersentak kecil. “Eh?”

Alif akhirnya menoleh, menatap kakak kelasnya itu sebentar, lalu kembali menekuni pekerjaannya. “Mata orang nggak pernah bisa bohong. Apalagi kalau berhenti terlalu lama pada satu foto.”

Cio menghela napas, duduk di kursi kosong. Ia menyandarkan tubuh, wajahnya kehilangan karisma ketua OSIS yang biasanya penuh percaya diri.

“Lif, kamu jeli sekali, ya.”

Alif hanya tersenyum tipis. “Jadi, mau cerita?”

Butuh beberapa detik sebelum Cio akhirnya membuka mulut. “Aku… suka sama Shani.”

Ruangan kembali hening. Hanya terdengar detik jam dinding. Alif tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Cio melanjutkan.

“Tapi aku nggak percaya diri,” lanjut Cio lirih. “Shani itu… banyak yang suka. Dari anak kelasku, teman sekelasmu, bahkan adik kelas. Semua orang tahu dia pintar, cantik, supel dan sempurna. Sedangkan aku… iya, aku ketua OSIS, tapi entah kenapa aku merasa kalah sebelum mulai. Aku takut perasaanku cuma jadi satu dari sekian banyak yang nggak berarti.”

Kata-katanya terputus oleh helaan napas berat. “Aku capek, Lif. Jadi orang yang kelihatannya tegar, berwibawa, padahal di dalamnya ragu sendiri.”

Alif bersandar ke meja, memperhatikan kakak kelasnya. Ia tidak buru-buru menanggapi. Baginya, mendengar adalah bagian dari jawaban. Biarkan semua yang terpendam keluar dulu.

Ketika Cio akhirnya terdiam, Alif perlahan berkata, “Kau tahu kenapa aku suka fotografi?”

Cio menoleh, sedikit bingung. “Kenapa?”

“Karena foto itu bukan cuma soal hasil yang indah. Kamera mengajarkan aku tentang cara memandang sesuatu. Tentang fokus.” Alif mengambil salah satu foto dari meja, memperlihatkan potret sekumpulan siswa yang sedang tertawa. “Kalau aku terlalu sibuk memikirkan banyak hal dalam satu frame, hasilnya berantakan. Tapi kalau aku berani menentukan apa yang paling penting, yang paling layak untuk diabadikan… barulah fotonya bercerita.”

Ia menatap Cio, suaranya tetap tenang. “Perasaan juga begitu. Kalau terlalu sibuk mikirin saingan, jumlah orang yang suka, atau kemungkinan gagal… ya, hasilnya kabur. Tapi kalau berani fokus sama apa yang dirasakan, jujur sama diri sendiri, barulah cerita itu bisa berarti. Bukan soal siapa yang lebih banyak penggemarnya. Tapi siapa yang berani membingkai momen itu.”

Cio terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi seperti menembus dinding yang selama ini ia bangun sendiri.

“Fotografi juga ngajarin aku hal lain,” lanjut Alif. “Nggak semua foto harus sempurna. Kadang foto yang sedikit blur, atau pencahayaannya kurang, justru punya cerita yang lebih jujur. Jadi, kalau kau menunggu waktu sempurna buat bilang ke Kak Shani… mungkin waktu itu nggak akan pernah datang. Tapi kalau Kakak berani mengambil momen apa adanya, justru itu bisa jadi kenangan paling berharga.”

Sunyi kembali mengisi ruangan. Cio menatap lantai, lalu tersenyum tipis. “Kamu… aneh, Lif. Omonganmu kayak sederhana, tapi rasanya kena sekali.”

Alif hanya terkekeh pelan. “Aku cuma memotret dengan kata-kata.”

Cio berdiri, merapikan seragamnya. “Terima kasih. Serius, aku nggak nyangka bisa curhat ke kamu. Maaf kalau ganggu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Alif singkat.

Saat Cio hendak beranjak, Alif meraih foto Shani yang tadi membuatnya terpaku. Ia menyodorkannya ke tangan kakak kelasnya.

Cio menatap foto itu, kaget. “Lif, ini—”

“Ambil saja,” potong Alif. “Anggap hadiah. Siapa tahu suatu hari nanti aku bisa memotret Kak Cio dan Kak Shani berdiri berdampingan.”

Cio terdiam. Ada sesuatu di matanya—campuran harapan dan keberanian yang baru tumbuh. Ia menggenggam foto itu erat, sebelum akhirnya menatap Alif dengan senyum tulus.

“Semoga suatu hari itu datang. Terima kasih, Lif.”

Dengan langkah mantap, Cio meninggalkan ruangan.

Alif kembali menempelkan foto-foto lain di dinding. Senyum samar menghiasi wajahnya. Ia tidak tahu bagaimana cerita Cio dan Shani akan berakhir. Tapi seperti dalam fotografi, yang terpenting adalah berani menekan tombol rana—berani mengabadikan momen, apa pun hasilnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
I Won't Forget You
Hijra Maulany Maulud
Flash
Sudut Kamera
Aksara Dvaita Varna
Cerpen
Seberkas Asa dalam Kisah
Aqil Azizi
Cerpen
Effugium Cafe
Adinda Haifa Febru
Novel
Cara Hujan Menutup Luka
Agura Senja
Novel
Gold
KKPK Me and My Cute Cat
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Lampu Jalan dan Sepasang Mata yang Tak Pernah Lelah
Rudi Ardi Hamzah
Novel
Kesempatan Kedua
Rafael Yanuar
Novel
A Good Father
Lilian
Novel
Bronze
ASA kali kedua
Mahessa Gandhi
Flash
Aku Menulis Tentang Kau
Aneidda
Flash
Bronze
Waktu Bahagia
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Menanti Kau
Moycha Zia
Cerpen
Bronze
Merah Putih, Satu Hati , Satu Desa
muhamad jumari
Novel
Rumit
Tidak Diketahui
Rekomendasi
Flash
Sudut Kamera
Aksara Dvaita Varna
Novel
Bronze
Panggung Aksara
Aksara Dvaita Varna