Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mendadak aura di segala penjuru menjadi neraka. Suara-suara minor mengepungku. Tatapan mereka menikamku. Aku nyaris tak berani menatap tribun. Suporter dari timur, barat, selatan, dan utara seolah berbagi tugas: pria-pria ganas berteriak beringas, wanita-wanita tua dan muda tampak cemas, para pria pendiam menahan napas–tegang, anak-anak ingin menangis, pria berwajah sabar menahan orang di sebelahnya yang akan melempar ponsel, dan pria-pria bijak lainnya berdo'a agar pemain bernomor punggung 19 itu hanya menderita kesakitan sesaat, bukan cedera parah akibat kebrutalanku.
Aku pun segera menyadari, pria yang dikelilingi tim medis itu bukan hanya seorang pemain; ia adalah harta, do'a dan harapan seluruh negeri itu. Dan aku mendadak menjadi musuh mereka akibat tekel horor itu. Permintaan maafku yang rapuh tidaklah berarti. Semua orang berhak menerkamku saat ini, termasuk pemain cadangan, pelatih dan staf mereka yang berdiri dengan napas memburu dan menatap murka padaku.
Kuakui pria berwajah pemikir itu benar-benar berada di level yang berbeda. Dengan visi emas dan umpan berlian, ia segera menjelma jadi pengatur ritme baru kelas wahid. Namun, setiap pemain juga memiliki kelemahan. Pria itu terlihat lamban dan segera kehabisan napas–tak sesegar pemain lain di lapangan, meski baru saja masuk sebagai pengganti. Kupikir itulah peluangku: mencuri bola darinya dan mengubah sedikit keadaan. Melesakkan satu gol di kerajaan mereka akan menjadi prestasi kami saat ini; mengobati kekecewaan suporter kami yang terselip di antara puluhan ribu suporter mereka. Timnasku mungkin hanyalah liliput dalam dunia sepakbola, namun aku pemain terbaik di sana, dan tak ada salahnya membuat mata dunia tertuju padaku setidaknya dalam satu momen.
Ruang dan waktu akhirnya memberiku momen; pria pemikir itu menerima bola dan aku berada di posisi ideal untuk merebutnya. Benar saja, ia tak setangkas pemain lain–gerakannya serupa slow motion. Dalam sekejap ia telah berada dalam jangkauanku.
Ini saatnya! Duel ketangkasan.
Aku lebih muda dan enerjik; aku jelas unggul jauh darinya. Saat pria pemikir itu mengambil ancang-ancang untuk melepaskan umpan jauh, dalam sepersekian detik aku lebih dulu mendaratkan sleding ke arah bola.
Prakkk! Kena!
Priiiiiittt!
Jerit kesakitan melengking. Ia berguling di lapangan dengan wajah mengenaskan. Stadion bergemuruh. Suasana memanas.
Sial! Timingku keliru.
Ternyata bola yang seharusnya dapat kucuri malah jauh melesat ke sisi lapangan lain–tepat di kaki lawan. Detik berikutnya, aku menerima karma: lawan menyerbuku–menodongku dengan amarah, mempertanyakan tindakanku yang bodoh–dan wasit bergegas memvonisku dengan kartu kuning agar emosi mereka sedikit mereda. Namun, sesaat kemudian aku berharap kartu merahlah yang menjulang di udara. Kupikir itu keputusan keliru; membiarkanku tetap di tengah lapangan. Karena ini bukan lagi pertandingan, ini penghakiman seluruh dunia pada seorang pelaku tekel berbahaya.
Note:
Terinspirasi dari sebuah momen menegangkan di laga persahabatan Timnas Indonesia melawan Chinese Taipei.