Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sedih rasanya melihat semua ini.
Dulu kakek dengan bangga berkata bahwa dia pergi bersama para saudara membawa bambu runcing menuju medan tempur. Dia berkata kalau telinganya hampir tuli mendengar ledakan senjata laras panjang dari serdadu-serdadu Jepang. Dia berkata bahwa pada masa itu, para saudara yang terjun dalam perang sama sekali tidak takut mati.
“Demi putra dan putri bangsa, kami rela menumpahkan darah dan mati saat itu juga.”
Demikian kata kakek sambil menepuk-nepuk dada kerempengnya.
Saat aku masih berumur sepuluh tahun, ibu sering meninggalkanku dalam asuhan kakek dan nenek. Ketika nenek sibuk di dapur dengan perapian panas, aku bersama kakek pergi ke sawah. Ketika kakek sibuk menyiangi rumput gemuk, aku pergi berkejar-kejaran dengan capung liar.
Saat istirahat sembari makan bekal buatan nenek, kakek selalu bercerita bahwa di tanah ini dulunya adalah medan tempur. Banyak orang Jepang mati tertusuk bambu runcing para pejuang dan banyak para pejuang tumbang ditembus timah panas laras panjang.
Aku tak pernah merasa bosan mendengar cerita itu, apalagi ketika sampai pada bagian kakek dan nenek yang berlari-lari menjauh dari kejaran penjajah Jepang. Pernah sekali waktu ia dan nenek bersembunyi dalam lubang yang digunakan untuk jebakan. Terpaksa mereka gunakan jebakan itu untuk diri sendiri agar bisa bersembunyi.
Cerita itu bisa dibilang sebagai genre romantis kehidupan kakek yang serba keras.
Kini sudah dua belas tahun terlewat, kakek dan nenek telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa sejak tiga tahun lalu.
Ketika umurku mencapai angka saat ini, aku sudah cukup mampu untuk menilai dengan pikiranku sendiri. Aku sudah cukup mampu untuk melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku sudah cukup mampu untuk merasa prihatin setelah menyimpulkan apa yang terjadi.
Sembari menjinjing seplastik bunga ungu dan putih, jalan kecil desa pun kususuri. Sembari menikmati senja, kupandang sana dan sini. Maka tampaklah apa yang dicita-citakan dan diwariskan oleh kakek bersama para saudaranya.
“Kami dulu pergi berperang. Istri dan para kekasih menanti di rumah dengan cemas, menangis di kamar sambil menengadahkan tangan memohon pada Yang Esa, meminta keselamatan kekasih hati agar bisa kembali dalam keadaan utuh tanpa cacat.”
Kakek, lihatlah hari ini.
Seringkali aku melihat para wanita muda duduk di teras rumah, membicarakan keburukan orang sambil melirik-lirik genit pemuda lewat. Dalam perjalanan ini pun aku menemukan beberapa gadis jelita sibuk berjoget di depan kamera gawai pipih.
“Demi anak cucu bangsa, biarlah kaum tua seperti kami mati lebih dulu.”
Kakek, lihatlah hari ini.
Benarkah mereka yang kaubela-bela sebagai anak cucu bangsa?
Lihatlah mereka yang tiap malam tiba di ujung jalan membawa sebotol minuman pemabuk bersama kawan-kawan. Lihatlah mereka yang menikmati fatamorgana ciptaan alkohol seraya asyik bercerita hal tak penting seolah masa depan akan baik-baik saja.
“Tak apa kami bodoh, yang penting para penerus bisa sepintar Bung Hatta.”
Kakek, lihatlah hari ini.
Katanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi kini anak sekolah menengah atau menengah atas tak bisa menghitung pun sebentar lagi kukira sudah jadi hal biasa.
Ibu guru berpesan untuk membuka buku dan belajar, tapi para penerus justru membuka buku sambil berdecak sebal, membaca tak ikhlas, lalu memilih untuk menjadikannya bantal.
Bapak guru mendisiplinkan murid dengan tegas, tapi para penerus justru menuduhnya dan mengambil jalan hukum.
Lebih gila lagi, bapak guru dipersalahkan sebelum ditendang ke jeruji besi.
“Kaum elit terhormat akan membungkam dunia, tak akan ada lagi bangsa lain yang berani meremehkan kita setelah Bung Karno membaca teks proklamasi.”
Kakek, kurasa kau tak mau menerima kenyataan.
Atau barangkali engkau yang tidak tahu.
Hari ini, para kaum elit terhormat itu dengan tanpa rasa malu menginjak harga diri kami. Mereka dengan congkak menunjuk kami sebagai “rakyat jelata” dan menunjuk dagu mereka sebagai “negara”.
Para kaum elit terhormat, yang engkau bilang terhormat itu, dengan tanpa rasa malu bergoyang-goyang ria di tempat yang seharusnya menjadi ruang diskusi tentang rakyat, diskusi tentang anak-anak kurang gizi, diskusi tentang orang tua kelaparan, diskusi tentang minim pendidikan, diskusi tentang bapak ibu guru sebagai abdi bangsa.
Dan diskusi soal moral yang mulai melenceng dari dasar negara.
“Aku masih ingat betapa bahagia wajah nenekmu saat aku bisa kembali hidup-hidup. Lebih bahagia lagi ketika radio butut rumah kami menyuarakan suara Bung Karno saat pembacaan proklamasi.”
Kakek, aku ingin sekali merasakan kebahagiaanmu saat itu.
Kakek, aku sangat tidak ingin kau merasakan kesedihan kami saat ini.
Tak terasa, kakiku berhenti di depan sebuah makam dengan nisan sederhana. Tertulis nama Wahyu di sana dengan tanggal lahir dan meninggal yang sudah tak mampu terbaca.
Tanahnya telah rata dengan sekitar, tapi setidaknya batu nisan itu bisa menjadi tanda bahwa ada kuburan di sini.
Kutabur bunga ungu dan putih dari dalam plastik. Pikiranku membayangkan puluhan tahun lalu, jika aku hidup di masa kakek masih muda, apakah aku akan punya pemikiran sama sepertinya?
“Kau yang jelas-jelas maju ke medan tempur bersama para saudara, mempertaruhkan nyawa, berkali-kali hampir mati, tapi kini tempat istirahat terakhirmu bahkan tak terawat. Semua orang bahkan lupa kepadamu sebagai seorang pahlawan.”
Bukankah seharusnya kakek pun layak mendapat tempat di makam pahlawan, di mana pada setiap nisannya dipasang helm logam?
“Bahkan sampai saat ini pun tak ada yang mau mengingatmu, mereka tak peduli siapa pahlawannya.”
Semilir angin sore seolah mengirim bisikan dari surga yang berkata bahwa keluhanku tak bisa mengubah kenyataan sedikit pun juga.
“Memang benar.” Bunga di plastik telah habis kutumpahkan. “Kakek, beberapa waktu lalu aku baru sadar bahwa bangsa yang kauperjuangkan saat itu kini sedang sangat-sangat sakit. Entah kapan akan sembuh.”
Sampai kapan isak tangis ibu pertiwi akan berhenti?