Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku masih di rumah sakit. Seminggu sudah berlalu sejak salah diagnosa itu diumumkan. Tidak ada lagi infus, tidak ada lagi selang oksigen yang menusuk hidungku. Kata dokter, aku hanya butuh istirahat total. Tapi setiap malam, tubuhku masih seperti menyimpan rahasia. Ada nyeri aneh di kepala, kadang seperti ada palu menghantam pelipisku.
Ibu masih setia selalu menemaniku, kini ia terlihat sedikit lebih ceria.
“Besok kita pulang ya, Diva,” katanya sambil merapikan rambutku. “Ibu sudah pesan klappertart buat kamu. Mau kan?”
Aku tersenyum. “Ibu nggak bosan suapin anak perawan kayak aku?”
Ibu mencubit pelan pipiku. “Kalau kamu cerewet kayak gini terus, ibu tetap nggak bakal bosan seumur hidup.”
***
Tapi kemudian, malam itu juga, ketika ibu tertidur di kursi di sebelahku, aku mendengar dua suster bercakap-cakap di luar pintu.
“Pasien di kamar 405… apa kamu nggak kasihan?”
“Kasihan, tapi kita harus profesional. Lagipula keluarga mereka belum siap mendengar diagnosis sebenarnya.”
“Lobulus frontal itu, katanya… tinggal tunggu waktu, kan?”
Suara mereka makin pelan, tapi kata-kata itu seperti merobek isi kepalaku.
Lobulus frontal. Tumor. Tunggu waktu.
Apakah semua ini… hanya jeda sebelum badai terakhir?
***
Pagi harinya, aku pura-pura ceria. Saat ibu pergi sebentar membeli makanan, aku memanggil dokter yang memeriksaku.
“Dok, boleh saya tanya jujur?” suaraku bergetar. “Sebenarnya kondisi saya… bagaimana?”
Dokter itu terdiam. Pandangannya jatuh ke lantai, lalu kembali menatapku dengan mata yang terasa penuh beban.
“Kami tidak seharusnya memberitahu tanpa keluarga, tapi kalau kamu sudah siap mendengar…”
Aku mengangguk, jantungku berdegup seperti genderang perang.
“Kami mendeteksi tumor di lobus frontal. Sifatnya agresif. Ini sulit dioperasi karena letaknya yang vital.”
“Jadi… sisa waktuku masih sama seperti vonis awal?” bisikku lirih.
Dia tidak menjawab. Hanya diam, dan itu lebih menyakitkan daripada kata-kata.
***
Besoknya aku akhirnya pulang. Sesuai permintaanku sendiri, karena aku bilang aku merasa lebih baik di rumah dalam sikon seperti sekarang. Aku juga sudah berjanji untuk berkomunikasi intens soal perkembangan penyakitku kepada dokter.
Permintaan ini sangat personal, untuk menjaga hati ibu. Apapun alasan untuk menahanku di rumah sakit hanya akan semakin mengoyak perasaan ibu.
Rumah terasa asing meskipun aku hafal setiap sudutnya. Di meja ruang makan, ada klappertart kesukaanku seperti janji ibu kemarin. Aku tersenyum menatap ibu yang sedang memotong apel untukku.
“Bu, boleh kita jalan-jalan besok?” entah bisikan dari mana tiba-tiba masuk ke kepalaku.
“Jalan-jalan?, ke mana?”
“Ke tempat biasa kita sering main waktu aku kecil. Ke taman kota.”
Ibu menatapku lama. “Kamu nggak boleh terlalu capek.”
“Aku nggak mau capek-capek, Bu. Aku cuma mau… lihat langit biru dan merasakan angin.”
Ibu akhirnya mengangguk.
***
Di bawah pohon flamboyan, aku duduk di kursi taman, memandang anak-anak yang berlarian. Tawa mereka seperti musik yang lembut tapi terdengar menyayat hati di telingaku.
“Bu, dulu aku sering duduk di sini kan?”
“Iya. Kamu cerewet minta es krim, padahal ibu lagi bokek.”
Aku tertawa. “Bu, aku takut.”
Ibu menatapku kaget.
“Aku takut… bukan takut mati, tapi takut nggak bisa bilang terima kasih karena ibu sudah jadi ibu terbaik di dunia.”
Ibu memelukku erat. Bahunya berguncang. “Kamu jangan ngomong begitu.”
***
Di kamarku, aku menulis surat untuk ibu. Tanganku gemetar. Setiap kata yang kutulis terasa seperti darah yang menetes dari nadiku.
"Bu, kalau nanti waktunya tiba, jangan menangis lama-lama. Doakan aku saja. Aku ingin pulang ke langit biru dengan membawa tawa kita kemarin di taman. Jangan pernah merasa sendirian, karena aku akan selalu ada dalam klappertart kesukaan kita, dalam apel yang kita potong bersama, dan dalam setiap hujan yang turun tiba-tiba di bulan Juli…"
Tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimat terakhir, kepalaku berdenyut hebat. Pandanganku gelap.
***
Keesokan paginya aku membuka mata. Bau antiseptik menusuk hidungku lagi. Suara mesin detak jantung terdengar monoton. Ibu duduk di sampingku, matanya sembab.
“Bu… aku nggak jadi mati kan?” tanyaku setengah bercanda.
Ibu menggenggam tanganku. “Kamu sempat drop semalam. Tapi ada kabar baik… dokter bilang ada pengobatan eksperimental. Kalau berhasil, mungkin kamu bisa sembuh.”
Aku terkesiap.
“Eksperimental?”
Ibu mengangguk. “Tapi risikonya tinggi. Kalau kamu nggak kuat, malah….” Ia tidak melanjutkan.
Aku memejamkan mata. Dalam pikiranku, ada dua jalan, menerima takdir dan pergi dengan damai, atau bertaruh dengan hidup melalui pengobatan yang belum pasti.
Tiba-tiba aku teringat doa-doa yang selalu kupanjatkan saat masih sehat, “Tuhan, beri aku kesempatan untuk lebih mencintai hidup.”
Mungkin ini jawabannya.
Aku membuka mata dan berkata pelan, “Bu, kita coba pengobatan itu… Kalau gagal pun, aku sudah sempat merasa benar-benar hidup.”
Ibu menangis, kali ini sambil tersenyum.
***
Saat aku memandang ibu, kepalaku terasa ringan. Suara detak jantung di mesin tiba-tiba berhenti. Layar monitor menunjukkan garis datar. Ibu menjerit memanggil namaku.
Tapi anehnya… aku merasa tenang. Aku berdiri dari ranjang, tubuhku ringan, tanpa rasa sakit.
Di sudut kamar, aku melihat sosok kecil—diriku sendiri saat berusia 5 tahun—tersenyum dan mengulurkan tangan.
“Yuk pulang, Kak,” katanya.
Aku meraih tangannya.