Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rumah-rumah reyot berdiri di pinggiran kota, berderet seperti gigi ompong. Dinding-dindingnya bolong, atapnya tumpang tindih oleh asbes pecah dan seng berkarat. Bau got bercampur asap kendaraan menjadi bumbu udara, yang menusuk paru-paru. Di jalanan depan rumah, anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki. Sebagian membawa layangan dari kantong kresek, sebagian lain mengais botol plastik dari tong sampah.
Sementara itu, para bapak duduk berjam-jam di warung tikungan. Mereka mengaduk kopi saset yang sudah mengendap, sambil menonton berita di televisi kecil yang gambarnya bergaris. Menyimak pejabat berbicara tentang “kemajuan bangsa” dengan pakaian rapi dan senyum mahal.
Di bangku sebelah warung, seorang pedagang bakso terkantuk-kantuk menjaga gerobaknya. Panci mengepul tiada henti; kuah kian surut, gas hampir habis, asa mulai sirna. Menunggu pembeli layaknya menunggu mukjizat yang mungkin salah alamat. Warga lalu-lalang, melirik sekejap, lalu sibuk dengan langkah masing-masing. Mereka terbiasa menelan ludah dan menawar lapar.
Suara toa masjid sesekali mengalun, menyeru amal, menyeru rasa peduli. Namun, di gang sebelah, ada keluarga yang baru kemarin kehilangan bayi karena tak sempat ke rumah sakit. Mereka tidak punya ongkos naik angkot, apalagi biaya perawatan. Bukan kisah baru, karena semuanya tinggal di bab yang sama, hanya berbeda halaman.
Di tengah pemandangan sibuk yang suram, seorang bocah laki-laki bernama Tegar duduk di tangga depan rumahnya. Kaosnya lusuh kebesaran, celananya sobek di lutut, dan sandalnya berbeda warna serta ukuran. Ia menatap ibunya yang sedang menyapu halaman. Sapu lidi itu menggesek tanah kering, menimbulkan getir yang menyerupai napas berat dalam dada.
“Bu…” suara Tegar lirih, hampir terseret angin sore. “Kenapa rumah kita sering kebanjiran kalau hujan? Kenapa kita selalu kehabisan beras? Kenapa banyak orang tidur di jalan?”
Ibunya berhenti sebentar. Pandangannya jatuh pada ujung sapu. Pertanyaan Tegar terasa sederhana, tetapi jawabannya tak mudah disederhanakan.
“Karena hidup kita selalu kekurangan, Nak. Segalanya serba tipis—dinding, nasi, juga harapan,” ucap sang ibu, merunduk, menghindari sinar matahari.
Tegar menundukkan kepala. Tangannya mencoret-coret tanah dengan lidi yang patah, menggambar garis acak.
Langkah tergesa terdengar mendekat. Seorang tetangga lewat. Ia mampir sebentar, dan lalu berbisik kepada ibu Tegar, “Bu, Nek Sri sudah nggak ada. Barusan.”
Ibu Tegar terdiam, hanya mengangguk. Semua tahu siapa Nek Sri, perempuan tua yang hidup sebatang kara. Tak ada yang mengurusnya. Namanya tak pernah tercatat di mana pun. Ia seperti tak pernah dianggap ada, sampai akhirnya mati di ranjang bambu yang lapuk.
“Mungkin memang begini cara hidup di sini. Terlalu dekat dengan Tuhan, terlalu jauh dari pilihan,” gumamnya. Sapu lidi kembali bergerak, tetapi tatapannya kosong.
Tegar mengangguk pelan seolah mengerti arti yang tersirat dari perkataan ibunya. Matanya tak lepas dari wajah sang ibu. Setelah beberapa detik, dengan keberanian yang aneh, ia bertanya lagi, “Bu… kenapa orang-orang bisa mati?”
Pertanyaan itu membuat ibunya menatap. Bukan karena terkejut, melainkan karena ia tahu Tegar akan mengajukannya lagi. Sejak pemakaman tetangga mereka bulan lalu—seorang kuli bangunan yang tertimpa besi di proyek, tanpa asuransi—Tegar sering menengadah pada langit sambil mendesis, mengucap hal-hal yang membuatnya gelisah.
“Orang-orang mati karena sudah waktunya,” jawab ibunya singkat.
Tegar mengernyit. “Kalau sudah waktunya, terus siapa yang menentukannya, Bu?”
Ibunya menggenggam gagang sapu lebih erat, menghela napas dalam-dalam. “Ada yang bilang Tuhan. Ada yang bilang nasib. Ada juga yang bilang karena perut kosong, udara kotor, atau peluru nyasar.”
Tegar menggigit bibirnya. "Tapi, Bu… kenapa bisa ada peluru nyasar? Apakah Tuhan sengaja? Atau orangnya yang salah?"
Sang ibu menyapu lebih cepat, seperti ingin menutupi suara anaknya dengan suara pilu kehidupan. “Jangan tanya begitu, Nak! Nanti orang bisa marah.”
Tegar memandangi ibunya. Cukup lama. Kemudian, ia menoleh ke jalan. Ada seorang pria mabuk terhuyung, seorang pejabat melintas dengan mobil mewah sembari tertawa di balik kaca gelap, dan seorang pengemis tua terkulai di trotoar. Semua dalam satu bingkai jingga di ufuk barat.
“Ka... kalau orang marah,” ujar Tegar sedikit tersendat, “apa itu berarti orang juga bisa memutuskan siapa yang mati, Bu?”
“Kadang iya,” jawab sang ibu dengan senyum yang retak. “Kadang orang-orang saling membunuh. Dengan senjata, dengan lapar, dengan aturan yang mereka sebut hukum, atau bahkan dengan lisan tajam yang mereka anggap obat”
Hening membekap, hanya tersisa detak halus dunia. Angin sore menyelip di kulit, membawa dingin yang menggigit hingga ke tulang.
Tegar memainkan ujung sandalnya. Menumpuk daun kering, lalu menghamburkannya lagi. “Kalau begitu, Bu, orang-orang mati karena mereka hidup?”
Ibunya meletakkan sapu. Ia duduk di samping Tegar. Tangannya terulur, mengusap rambut anaknya dengan lembut. “Begitulah, Nak. Hidup ini seperti pasar: ada yang menjual, ada yang membeli, ada yang terinjak-injak, ada yang pulang dengan kenyang. Tapi yang selalu dibayar paling mahal adalah nyawa.”
Tegar mengangkat kedua alisnya. “Jadi, orang-orang tak benar-benar mati, Bu? Mereka cuma dipindahkan dari pasar yang murah ke pasar yang lebih mahal.”
Ibunya tertawa kecil. Pandangannya naik, melewati atap-atap usang yang bertumpuk, hingga berhenti pada gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh.
“Mati itu takdir, Nak,” tuturnya, rendah nan syahdu. “Tapi di beberapa tempat… takdir datang lebih cepat dari yang seharusnya. Mungkin kita mendapatkan tempat yang lebih bagus setelahnya. Mungkin juga membawa derita dari sini.”
Tegar membersihkan bajunya dari debu. Senja perlahan menghilang. Menyambut malam yang sunyi, tetapi penuh bisik: bahwa kematian, sedikit atau banyak, selalu menjadi bagian dari pasar yang tak pernah adil—dan keadilan adalah bagian kehidupan yang tak selalu bisa diandalkan.