Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku merasa ada yang aneh di rumah ini. Jika suamiku sudah pergi bekerja dan anakku berangkat kuliah, seharusnya aku tinggal sendirian. Sudah tidak ada lagi asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah sehari-hari atau tukang kebun yang merawat halaman rumah kami yang lumayan luas. Sejak suami pertamaku meninggal, aku memutuskan mengurus semuanya sendiri. Rumah, anak semata wayangku, juga usaha travel yang baru kurintis.
Setahun yang lalu, aku menikah lagi. Suami baruku seorang marketing ulung yang juga sangat piawai berdiplomasi. Aku memerlukan kemampuannya untuk mengembangkan usaha travelku. Terbukti dalam waktu yang lumayan singkat, usahaku berkembang sehingga kami memutuskan untuk membuka cabang di kota lain. Aku sering bepergian karenanya. Dan setiap kali kepulanganku, aku merasakan ada kehadiran lain yang menunggu di rumah.
"Itu hanya perasaanmu saja. Di rumah ini hanya kita bertiga. Lagipula, kamu sendiri yang menolak mempekerjakan pembantu dan tukang kebun."
"Kita masih harus berhemat. Usaha kita belum sepenuhnya stabil, Mas."
Di lain waktu, pernah kuungkapkan keresahanku ini pada anakku.
"Jangan mengada-ada, deh, Ma. Tidak ada orang lain di rumah ini selain kita."
"Tapi Mama yakin pernah melihat bayangan papamu di ruang kerjanya."
"Papa sudah mati, Ma. Terima saja kenyataan itu. Lagipula Mama sudah menikah lagi. Pikirkan perasaannya kalau sampai dia tahu Mama masih belum bisa melupakan Papa."
Anakku benar. Seharusnya aku sudah bisa menerima kenyataan jika suamiku telah tiada.
Tapi sepertinya aku belum bisa.
Pada kepulanganku dari luar kota, lagi-lagi aku melihat bayangan yang mirip dengan suami pertamaku. Dia berdiri di ujung tangga menuju ke lantai dua. Hari sudah larut. Suami dan anakku pasti sudah lelap. Sebenarnya aku tidak berencana pulang malam ini. Namun urusanku sudah beres sejak siang. Jadi kuputuskan untuk memberi suami dan anakku kejutan.
Nyatanya aku yang dikejutkan. Bayangan di ujung tangga itu mengangguk. Seolah meyakinkanku untuk mengikuti langkahnya yang begitu mulus menaiki tangga kayu. Tak terdengar bunyi derit papan saat dia menginjaknya. Juga tak terlihat proyeksi bayangannya saat tubuhnya tertimpa cahaya bulan dalam ruangan yang gelap. Anehnya aku tidak takut. Rasa penasaran telah membawaku ke lantai dua dan melihat sosok itu berjalan menembus sebuah pintu.
Saat itulah debaran jantungku terdengar lebih keras dari genderang perang. Bahkan lebih keras dari erangan dan lenguhan dua tubuh yang bergumul di balik pintu.
Bayangan suamiku samar terlihat melayang menuju atap, menertawai keteledoranku menikahi lelaki yang sepantaran dengan putriku. []