Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah berencana untuk tinggal lebih lama dari seminggu.
Awalnya, aku hanya ingin melarikan diri dari tumpukan laporan yang tak pernah habis, dari suara telepon kantor yang tak berhenti berdering, dari pesan-pesan tak berbalas yang masih kusimpan di ponsel meski seharusnya kuhapus sejak lama.
Desa itu bahkan tidak muncul di peta digital. Aku menemukannya lewat blog seorang backpacker, hanya disebutkan sepintas: “desa kecil dengan aroma hazelnut yang selalu tercium setiap kali angin sore berembus.” Entah mengapa, kalimat itu terasa seperti panggilan.
Hari pertama aku tiba, langit sore menggantung rendah. Udara dingin menyelinap masuk ke jaket tipisku, membawa aroma manis yang samar seperti kacang panggang yang baru keluar dari oven. Di kejauhan, barisan pohon hazelnut berdiri rapi, bergoyang pelan diterpa angin.
Penginapan yang kutempati sederhana, hanya empat kamar kecil di atas dapur yang selalu wangi. Pemiliknya, seorang perempuan paruh baya bernama Nyonya Agatha, menyambutku dengan senyum yang hangat namun tidak berlebihan.
“Kau terlihat lelah,” katanya sambil mengambil koperku.
Aku hanya mengangguk, tidak ingin menjelaskan.
Malam itu, aku duduk di kamar kecilku, memandang keluar jendela. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara adzan dari mushala kecil desa, mengisi kesunyian yang tidak menghakimi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Hari-hari berikutnya, aku hanya berjalan. Menyusuri jalan setapak berbatu, berhenti di toko roti kecil di ujung jalan, dan duduk di bangku taman sambil menatap anak-anak berlarian. Mereka selalu tertawa, tawa yang murni, tanpa beban.
Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku tertawa seperti itu.
Kadang, aku membawa buku catatan kecil. Bukan untuk menulis sesuatu yang penting hanya kata-kata acak, potongan kalimat yang mungkin tidak pernah selesai. Aku menulis, lalu mencoret. Menulis lagi, lalu berhenti.
“Seperti hidupku,” pikirku suatu siang. Setengah jadi, setengah mati.
Panen hazelnut dimulai seminggu setelah aku tiba. Nyonya Agatha mengetuk pintu kamarku pagi-pagi sekali.
“Kalau kau tidak sibuk melamun,” katanya sambil tersenyum, “ikutlah ke kebun. Tanganmu butuh bekerja, bukan hanya pikiranmu.”
Aku menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk.
Di kebun itu, aku melihat pohon-pohon yang selama ini hanya kupandangi dari jauh. Daunnya hijau pucat, buah-buah cokelat kecil menggantung di ujung ranting. Udara pagi lembap, membawa aroma tanah dan sesuatu yang manis entah dari hazelnut yang matang, atau hanya dari ingatanku tentang sesuatu yang tak pernah kumiliki.
Pria tua dengan tubuh agak bungkuk menghampiriku.
“Pertama kali, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Jangan terburu-buru. Hazelnut butuh waktu untuk matang. Begitu juga kita, Nak.”
Aku tidak benar-benar mengerti, tapi kalimat itu menempel di kepalaku sepanjang hari.
Setiap sore, aku kembali ke penginapan dengan punggung pegal dan tangan kotor. Tapi anehnya, rasa lelah itu menenangkan. Di kota, aku sering pulang lebih malam dengan tubuh lelah tapi kepala yang masih berisik dipenuhi target kerja, grafik laporan, dan suara-suara orang yang menuntut banyak hal.
Di sini, lelahku sederhana. Hanya tubuh yang mengeluh, bukan hati.
Aku mulai terbiasa dengan ritme desa: bangun pagi, memetik hazelnut, makan siang bersama pekerja kebun, lalu duduk di beranda sambil mencatat apa pun yang terlintas di kepala.
Kadang, aku menulis tentang daun-daun yang jatuh. Kadang tentang aroma hazelnut yang menempel di jemariku. Kadang tentang diriku sendiri tentang rasa jenuh yang tak pernah sempat kuakui di kota.
Suatu malam, aku dan Nyonya Agatha duduk di dapur. Api di perapian berderak pelan, menghangatkan ruangan. Ia menuangkan teh ke dalam dua cangkir, lalu meletakkan sepiring roti hazelnut di antara kami.
“Jadi,” katanya sambil menyeruput tehnya, “apa yang membawamu ke sini?”
Aku diam lama. “Aku… lelah,” jawabku akhirnya.
“Dari apa?”
“Dari segalanya. Dari pekerjaan, dari orang-orang, bahkan dari diriku sendiri.”
Ia tidak menatapku dengan kasihan. Hanya tersenyum tipis, seolah mengerti.
“Kadang, yang kita butuhkan hanyalah diam. Bukan jawaban,” ucapnya pelan.
Aku tidak membalas, tapi kata-katanya terasa menenangkan. Seperti selimut tebal di malam musim dingin.
Musim panen hampir berakhir ketika aku mulai menulis dengan lebih lancar. Catatan-catatan kecilku berubah menjadi paragraf-paragraf panjang. Aku menulis tentang desa ini, tentang orang-orang yang bekerja tanpa terburu-buru, tentang anak-anak yang selalu tertawa.
Aku menulis tentang diriku bukan untuk mengeluh, tapi untuk memahami.
Suatu sore, aku duduk di tepi kebun, mengamati langit yang berubah warna menjadi oranye keemasan. Di tanganku, ada hazelnut yang baru saja kupetik. Cangkangnya keras, sulit dibuka. Aku mengingat kata-kata pria tua itu: “Hazelnut butuh waktu untuk matang.”
Mungkin aku juga begitu.
Namun dunia luar tak pernah benar-benar pergi. Email mulai menumpuk di ponselku. Pesan dari bosku muncul berkali-kali: “Kapan kembali? Kita butuh kamu di sini.”
Aku menatap layar itu lama sekali, mencoba mencari alasan untuk tetap tinggal. Tapi aku tahu, aku tidak bisa selamanya bersembunyi.
Hari terakhirku di desa itu datang lebih cepat daripada yang kuharapkan.
Paolo, anak kecil yang selalu mengikutiku ke kebun, memberiku kantong kecil berisi hazelnut kering.
“Supaya kau ingat desa ini,” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Nyonya Agatha memberikan sebotol kecil selai hazelnut.
“Untuk mengingatkanmu bahwa kau pernah belajar melambat,” ucapnya.
Aku menahan perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti ada sesuatu yang tertinggal di sana atau mungkin, sesuatu yang baru kutemukan.
Di bus yang membawaku keluar desa, aku menatap keluar jendela. Pohon-pohon hazelnut perlahan menghilang dari pandangan. Aku membuka buku catatanku, menulis satu kalimat terakhir:
Tidak semua yang hilang harus ditemukan. Beberapa cukup dikenang, agar kita ingat pernah hidup.
Aku menutup buku itu, menatap botol kecil selai hazelnut di pangkuanku. Rasanya manis, getir, dan entah bagaimana… jujur.