Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah menyangka kematian begitu sunyi.
Tidak ada cahaya terang yang menyambut ku, tidak ada malaikat bersayap emas seperti yang diceritakan buku-buku agama. Yang ada hanya sebuah ruangan putih tanpa dinding, tanpa lantai, tanpa batas. Ruang yang seolah tak pernah habis, namun juga terasa mengekang.
"Aku sudah mati?" tanyaku, entah kepada siapa. Suaraku menggema, lalu kembali menghantam kepalaku seperti suara asing.
Di hadapanku, sebuah pintu hitam tiba-tiba muncul. Tidak ada gagang, tidak ada ukiran, hanya hitam pekat yang menusuk. Rasa penasaran mendorongku untuk mendekat. Tanganku terjulur, tapi tubuhku bergetar. Ada bisikan samar di telingaku, suara yang mirip dengan suaraku sendiri, tapi lebih dalam, lebih tua.
"Masuklah… kalau kau berani."
Aku menelan ludah, lalu mendorong pintu itu.
Di baliknya, bukan neraka, bukan surga. Aku melihat hidupku sendiri. Potongan demi potongan kenangan jatuh dari langit seperti pecahan kaca: wajah ibuku yang menangis, tawa ayahku yang hilang di usia muda, sahabat yang pernah ku hianati, perempuan yang pernah kucintai tapi kubiarkan pergi. Semuanya menghantam lantai kosong, pecah, dan aku dipaksa menatap setiap serpihan itu.
Setiap kali mataku menyentuh pecahan kenangan itu, rasa sakit muncul lebih sakit daripada luka di dunia nyata. Di sinilah aku mengerti bahwa hidup setelah mati bukan tentang surga atau neraka, melainkan tentang berdamai dengan diri sendiri.
Tapi aku bukanlah jiwa yang damai.
Aku dipenuhi penyesalan.
Aku menyesal karena terlalu sibuk mengejar pengakuan, menunda kebahagiaan, dan membiarkan waktu merenggut semua yang kucintai.
Tiba-tiba, sosok lain muncul. Bayangan diriku, tapi lebih gelap, dengan mata merah yang menatapku tajam.
"Aku adalah kau yang sebenarnya," katanya. "Aku adalah kebohongan yang kau pelihara. Aku adalah sisi yang kau sembunyikan. Dan di dunia setelah mati… tidak ada tempat untuk bersembunyi."
Dia mendekat, dan aku bisa merasakan hawa dingin menyusup ke tulangku. Aku ingin lari, tapi kaki ini menempel ke tanah yang tak nyata. Aku ingin berteriak, tapi suara tercekat di tenggorokan.
Maka, aku hanya bisa menatap diriku sendiri, diriku yang selama ini ku benci, diriku yang selalu ku larikan.
Di sanalah aku sadar, kematian bukanlah akhir.
Kematian hanyalah cermin.
Dan aku, harus menatapnya tanpa bisa memalingkan wajah.