Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Museum Kenangan
2
Suka
4,492
Dibaca

Dulu aku sering berkata kepada sahabat-sahabatku,"Kalau istrimu selingkuh, tinggalkan saja. Hargai dirimu. Untuk apa bertahan di rumah yang sudah kebobolan?!"

Aku pikir aku mengenal siapa diriku saat mengucapkan itu. Lelaki rasional. Tegas. Mandiri. Namun, sekarang aku duduk di ruang tamu rumahku sendiri, memperhatikan istriku mengetik di laptop sambil tersenyum simpul.

Aku tahu senyum itu bukan untukku. Dia menyembunyikan perselingkuhannya dengan rapi. Aku mengenalnya terlalu dalam. Setiap gerak-geriknya sangat lekat di benakku. Menjadi penanda maupun notifikasi langsung.

Pakaian kerjanya semakin ketat. Lipstiknya lebih cerah dan tebal dari biasanya. Tampilannya selalu merona, padahal sebelumnya sangat sederhana. Setiap kali aku bertanya atau menegur, dia menjawab satu oktaf di atas nadaku. “Dari dulu aku seperti ini. Ini tuntutan pekerjaan.”

Lucu. Dulu kami saling tahu isi pikiran tanpa bercerita. Sekarang, dia bahkan tak mau lagi bicara.

Ketika aku meminta penjelasan, dia akan mengorek isi ponselku. Namun, aku tak boleh melakukan hal sebaliknya. Posisiku selalu terduga. Jika aku memaksa, dia menangis, memutarbalikkan seolah akulah yang tidak percaya.

Entah. Aku selalu kalah. Bukan mengalah. Karena pada dasarnya, aku sudah tahu semuanya.

Setelah melalui malam dalam ketegangan, pagi kerap terasa lebih hangat. Dia akan lebih dulu bangun dan berada di dapur, lalu memanggil dari meja makan dengan suara mesra.

“Hari ini kamu pulang jam berapa, Mas?”

“Jangan lupa bayar tagihan listrik, air, dan wi-fi, ya!”

“Nanti sore biar aku aja yang jemput Kevin.”

Pikiranku buntu. Nalarku tersumbat. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Tetap bersamaku, tetapi juga bersama dia? Atau sekadar mencari hiburan di luar rumah? Kukira sepuluh tahun tanpa pertengkaran merupakan pencapaian terbaik dalam pernikahan.

Rupanya dia menebar hati, dan aku masih terus diam. Bukan karena tidak bisa marah, melainkan karena aku tidak tahu harus menjadi siapa kalau bukan suaminya.

Aku menemukannya. Nama pria itu: Aditya. Rekan kerja. Duda dua anak. Kami pernah saling sapa saat acara gathering kantor istriku tahun lalu. Dia menjabat tanganku dengan percaya diri. Senyum mengembang, mengalirkan keramahan. Senyum yang kini berubah menjadi cumbu di pipi istriku.

Aku tidak melakukan konfrontasi. Belum. Sebab, aku malu.

Ya, malu. Bukan hanya karena diselingkuhi, tetapi karena tetap mencintai istriku. Karena masih membuatkan teh manis untuknya setiap pagi. Karena masih menarik selimut untuk mengusir dingin dari tubuhnya. Karena aku masih menyimpan pesan suara lamanya yang berkata, “Jangan pernah tinggalin aku, ya, Mas.”

Aku paham bahwa cinta bisa berubah bentuk. Ia bisa menjadi cambuk, bisa juga menyamar lembut. Saat wujudnya tak bisa lagi kusentuh, mungkin memang ruangnya sudah tak sanggup lagi menampung.

Suatu malam, aku mencoba memetakan keputusan. “Kamu masih cinta sama aku?” tanyaku, halus dan hati-hati.

Dia tidak menjawab. Hanya menatapku lama.

Aku menunggu. Sabar, meski setengah kesal.

“Kamu sebenarnya lelah dengan hubungan ini, kan? Mengapa kamu melemparkannya kepadaku?” Akhirnya, mulutnya terbuka. Sayangnya, lidahnya menempelkan label dan membentangkan tameng dengan segera.

Aku tak mau dia membalikkan semua tanya, memainkan sandiwara, seolah aku yang mendua.

“Namanya Aditya, bukan?” tanyaku, tegas.

Dia menarik napas. Tidak membantah. Pun, tidak meminta maaf.

“Aku cuma pengin merasa hidup lagi, Mas. Aku butuh orang yang men-support aku ketika jenuh bertahta di kepalaku,” ucapnya, tanpa menoleh ke arahku.

Aku tersentak. Tak percaya kalimat itu mengalun tenang dari bibirnya. Hidup lagi. Support. Jenuh. Seketika aku menghilang dari memorinya. Hari-hari yang dijalani bersama seakan telah lebur menjadi abu. Berterbangan, menempel pada puing-puing hina.

Sungguh. Aku merasa tidak bersalah, tetapi justru seperti yang paling bersalah. Aku merasa gagal, padahal ini bukanlah perlombaan.

Dia keluar kamar dengan raut tegang membara. Pintu yang diam menjadi pelampiasannya.

Aku menahan emosiku. Ada anak kami yang harus dijaga mentalnya. Namun, di dalam kamar mandi, aku memuntahkan segalanya hingga air mata berjatuhan.

Besoknya, aku tetap mengantar Kevin ke sekolah. Tetap mencium keningnya. Tetap bertanya, “Hari ini pelajarannya apa saja?”

Karena menjadi ayah yang baik terasa lebih mungkin daripada menjadi suami yang cukup. Anak adalah jawaban. Pasangan adalah pertanyaan.

***

Sudah tiga bulan sejak aku tahu. Dia masih di sini. Kami masih tinggal di rumah yang sama. Namun, rasanya bagaikan mendiami museum: semua benda masih ada, tetapi kenangannya sudah membatu.

Pernah terlintas untuk pergi. Hanya saja, aku tak punya tujuan. Aku tidak bisa meninggalkan anakku. Aku tidak bisa membayangkan hari-hari tanpa suara kecilnya memanggil, “Ayah.”

Anehnya, aku juga tidak bisa membayangkan rumah ini tanpanya—perempuan yang menusukku pelan-pelan, yang tetap kupanggil istri.

Aku tidak menjadi korban. Aku juga bukan pahlawan. Aku hanya laki-laki yang duduk di meja makan tiap malam, menyantap makanan dari tangan yang juga pernah menyuapi laki-laki lain.

Mengapa masih berjalan di atas bara? Karena terkadang menahan sakit lebih mudah dibanding membangun ulang hidup yang runtuh—sendirian. Dan aku mencoba menelan ucapanku sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Mimpi Penulis
Johannes Silalahi
Flash
Museum Kenangan
Jasma Ryadi
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Novel
Bronze
Denaya : Tahanan Masa Lalu
Dhebby Soru
Flash
Bronze
Cincin Mahar Saturnus
Silvarani
Cerpen
GUNUNG SIBAYAK
farant c.n. pardosi
Novel
Bronze
WHO?
Akaa
Skrip Film
TOPENG VANILA
Evi Octavia Setiani
Skrip Film
ARKANA
Sherly Amanda Islami Ramadhani
Flash
Bronze
Kembang dan Nasibnya
Siti Soleha
Cerpen
Hujan yang Tak Pernah Turun di Hari Selasa
Fredhi Lavelle
Novel
Selamat Tinggal, Dunia.
Rika Kurnia
Novel
444 km
Gya Daneo
Novel
DUA PILIHAN
ArsheilaW
Novel
Shafa and Love
Nursan
Rekomendasi
Flash
Museum Kenangan
Jasma Ryadi
Flash
Republik Kucing
Jasma Ryadi
Flash
Telepon
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Kembalinya Sang Penari
Jasma Ryadi
Flash
Mereka Bilang Aku Setan
Jasma Ryadi
Flash
Teras
Jasma Ryadi
Flash
Aku atau Dia
Jasma Ryadi
Flash
Tiga Ketukan Sunyi
Jasma Ryadi
Flash
Lintang
Jasma Ryadi
Flash
Bulan ke-10
Jasma Ryadi
Flash
Pukul 01:10
Jasma Ryadi
Flash
Diam yang Menghukum
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Dapur dan Labelnya
Jasma Ryadi
Flash
Bagaimana Jika Aku Tidak Menikah?
Jasma Ryadi
Flash
Senja yang Dilepas
Jasma Ryadi