Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Rumah yang Retak
1
Suka
9
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Rumah yang Retak

Rumah kecil itu sudah bertahan puluhan tahun. Cat tembok yang sudah luntur terkena hujan, dinding yang berlumut, kayu yang keropos seperti menunjukkan perjuangan rumah itu. Rumah yang selalu bertahan dalam keadaan apa pun. Bukan lagi panas dan hujan, tapi juga badai. Ketika musim hujan air bisa masuk melalui celah-celah yang ada. Ketika kemarau celah-celah itu menjadi pintu masuk angin yang menyegarkan. Sampai hari ini, rumah itu menjadi tempat pulangnya sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Setiap sudut rumah selalu mempunyai cerita bagi penghuninya. Ada ruangan yang menjadi saksi hangatnya keluarga itu.

Aku adalah salah satu dari anak-anak yang tumbuh di sana. Setiap malam, aku bisa mendengar tawa ayah dan ibu dari kamarku. Rumah ini adalah duniaku, bentengku.

Tapi suatu malam, aku merasakan getaran aneh. Bukan gempa yang dulu sering kami rasakan. Aku melihatnya. Retakan pertama muncul di dinding kamarku. Bukan retakan besar, hanya garis tipis seperti rambut. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan. Aku melihat retakan itu menyebar satu per satu seperti urat nadi yang pecah.

Aku melihat lantai yang dulunya menjadi pijakan, kini membuka. Dinding yang merekam kenangan perlahan menciptakan pola-pola retakan yang menyakitkan. Dinding tempat dulu Ayah mengukur tinggiku setiap tahun, kini terbelah. Tempat coretan pensilku saat masih kecil, kini mengelupas. Aku hanya duduk di sana, lumpuh tak berdaya.

Tiap malam, ketakutan itu semakin nyata. Retakan di dinding kamarku terasa seperti jurang yang menganga. Aku takut jika suatu hari nanti, retakan itu akan menelanku.

Sampai suatu malam, aku bermimpi. Aku melihat rumahku hancur lebur dan aku sendirian. Bukan karena gempa tapi karena aku membiarkannya hancur. Aku membiarkan retakan itu mengambil alih.

Aku terbangun dengan keringat dingin. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. Aku tidak bisa terus melihatnya hancur. Dengan napas gemetar, aku meraih plester yang kupunya. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku mulai dengan retakan yang paling kecil. Dengan tangan gemetar, aku mengambil plester dan mencoba menutupinya. Keesokan harinya, retakan itu muncul lagi di tempat yang berbeda. Aku menambal lagi, dan lagi. Tanganku kotor, bajuku penuh debu. Ayah dan ibu mungkin melihatku, tapi mereka seolah tak menyadari apa yang kulakukan.

"Nak, kenapa bajumu kotor sekali?" tanya Ibu suatu sore.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya membereskan kamar," jawabku sambil menyembunyikan sisa plester di tanganku. Ibu hanya mengangguk, lalu kembali ke ruang tengah.

"Kamu selalu di kamar, Nak. Keluar, bermainlah," kata Ayah sambil menepuk pundakku.

Aku hanya tersenyum tipis. "Rumah ini butuh aku, Yah," bisikku yang tentu saja tidak ia dengar.

Prosesnya lambat dan melelahkan. Setiap retakan yang kutambal terasa seperti menambal bagian dari diriku yang hilang. Ada malam-malam di mana aku ingin menyerah. Rasanya aku menambal, tapi kehancuran datang lebih cepat. Namun, setiap kali aku berhasil menutup satu retakan, rasanya seperti memenangkan pertempuran kecil.

Suatu sore, setelah menambal retakan besar di dekat jendela ruang tamu, aku memutuskan untuk keluar. Aku berdiri di halaman dan memandangi rumah tua itu. Dari jauh, rumah itu terlihat sama. Tapi ketika aku melangkahkan kaki lebih dekat, aku melihatnya. Tambalan-tambalan yang menonjol, bekas cat yang tidak sempurna, dan garis-garis plester yang tak rata.

Rumah itu tidak lagi mulus, tapi ia utuh. Aku tersenyum, menyadari bahwa bekas luka itu bukan tanda kelemahan melainkan bukti bahwa ia telah bertahan.

Rumah itu tidak akan pernah kembali seperti semula. Dindingnya kini penuh dengan tambalan dan bekas luka dari perjuanganku. Tapi, rumah ini tidak lagi retak. Rumah ini kuat dengan cara yang berbeda. Aku belajar bahwa sebuah rumah tidak harus sempurna untuk menjadi tempat pulang. Ia hanya perlu punya satu orang yang bersedia menambalnya, satu per satu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Jarak Kita-Script Film (Skenario Film)
Caressa
Flash
Modus Nomor Telepon
Luca Scofish
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Cerpen
Satu Janji di Bryant Park
Dian Y.
Flash
Shine!
Lirin Kartini
Flash
Sang Penyemir Sepatu
Fitri F. Layla
Flash
Harapan dan Standard
Felicia Putra
Novel
Bronze
Simfoni Perpisahan
Vincent Jose
Flash
Joy
Yaz
Novel
Angkat Tangan yang Lajang
moris avisena
Novel
Bronze
BENANG TAKDIR
Ira A. Margireta
Flash
12
Impy Island
Flash
Apa itu cinta
Viola khasturi
Cerpen
Tia Monica Manis Sekali
Rizki Mubarok
Novel
Sewindu Nirwana
Popromca
Rekomendasi
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Cerpen
The Unseen Hand: Prolog
Sekar Kinanthi