Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Rumah yang Retak
4
Suka
4,690
Dibaca

Rumah kecil itu sudah bertahan puluhan tahun. Cat tembok yang sudah luntur terkena hujan, dinding yang berlumut, kayu yang keropos seperti menunjukkan perjuangan rumah itu. Rumah yang selalu bertahan dalam keadaan apa pun. Bukan lagi panas dan hujan, tapi juga badai. Ketika musim hujan air bisa masuk melalui celah-celah yang ada. Ketika kemarau celah-celah itu menjadi pintu masuk angin yang menyegarkan. Sampai hari ini, rumah itu menjadi tempat pulangnya sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Setiap sudut rumah selalu mempunyai cerita bagi penghuninya. Ada ruangan yang menjadi saksi hangatnya keluarga itu.

Aku adalah salah satu dari anak-anak yang tumbuh di sana. Setiap malam, aku bisa mendengar tawa ayah dan ibu dari kamarku. Rumah ini adalah duniaku, bentengku.

Tapi suatu malam, aku merasakan getaran aneh. Bukan gempa yang dulu sering kami rasakan. Aku melihatnya. Retakan pertama muncul di dinding kamarku. Bukan retakan besar, hanya garis tipis seperti rambut. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan. Aku melihat retakan itu menyebar satu per satu seperti urat nadi yang pecah.

Aku melihat lantai yang dulunya menjadi pijakan, kini membuka. Dinding yang merekam kenangan perlahan menciptakan pola-pola retakan yang menyakitkan. Dinding tempat dulu Ayah mengukur tinggiku setiap tahun, kini terbelah. Tempat coretan pensilku saat masih kecil, kini mengelupas. Aku hanya duduk di sana, lumpuh tak berdaya.

Tiap malam, ketakutan itu semakin nyata. Retakan di dinding kamarku terasa seperti jurang yang menganga. Aku takut jika suatu hari nanti, retakan itu akan menelanku.

Sampai suatu malam, aku bermimpi. Aku melihat rumahku hancur lebur dan aku sendirian. Bukan karena gempa tapi karena aku membiarkannya hancur. Aku membiarkan retakan itu mengambil alih.

Aku terbangun dengan keringat dingin. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. Aku tidak bisa terus melihatnya hancur. Dengan napas gemetar, aku meraih plester yang kupunya. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku mulai dengan retakan yang paling kecil. Dengan tangan gemetar, aku mengambil plester dan mencoba menutupinya. Keesokan harinya, retakan itu muncul lagi di tempat yang berbeda. Aku menambal lagi, dan lagi. Tanganku kotor, bajuku penuh debu. Ayah dan ibu mungkin melihatku, tapi mereka seolah tak menyadari apa yang kulakukan.

"Nak, kenapa bajumu kotor sekali?" tanya Ibu suatu sore.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya membereskan kamar," jawabku sambil menyembunyikan sisa plester di tanganku. Ibu hanya mengangguk, lalu kembali ke ruang tengah.

"Kamu selalu di kamar, Nak. Keluar, bermainlah," kata Ayah sambil menepuk pundakku.

Aku hanya tersenyum tipis. "Rumah ini butuh aku, Yah," bisikku yang tentu saja tidak ia dengar.

Prosesnya lambat dan melelahkan. Setiap retakan yang kutambal terasa seperti menambal bagian dari diriku yang hilang. Ada malam-malam di mana aku ingin menyerah. Rasanya aku menambal, tapi kehancuran datang lebih cepat. Namun, setiap kali aku berhasil menutup satu retakan, rasanya seperti memenangkan pertempuran kecil.

Suatu sore, setelah menambal retakan besar di dekat jendela ruang tamu, aku memutuskan untuk keluar. Aku berdiri di halaman dan memandangi rumah tua itu. Dari jauh, rumah itu terlihat sama. Tapi ketika aku melangkahkan kaki lebih dekat, aku melihatnya. Tambalan-tambalan yang menonjol, bekas cat yang tidak sempurna, dan garis-garis plester yang tak rata.

Rumah itu tidak lagi mulus, tapi ia utuh. Aku tersenyum, menyadari bahwa bekas luka itu bukan tanda kelemahan melainkan bukti bahwa ia telah bertahan.

Rumah itu tidak akan pernah kembali seperti semula. Dindingnya kini penuh dengan tambalan dan bekas luka dari perjuanganku. Tapi, rumah ini tidak lagi retak. Rumah ini kuat dengan cara yang berbeda. Aku belajar bahwa sebuah rumah tidak harus sempurna untuk menjadi tempat pulang. Ia hanya perlu punya satu orang yang bersedia menambalnya, satu per satu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Bronze
Instruksi Hati
Hesti Ary Windiastuti
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Skrip Film
abc
John Doe
Skrip Film
Pertama dan Terakhir
silvi budiyanti
Skrip Film
Karsa
Ananda Galih Katresna
Skrip Film
SIBLINGS
Intan lastari
Flash
Bronze
ARTI YANG TERSEMBUNYI
Rahmayanti
Flash
REMEMBER
Voni lilia
Cerpen
Bronze
Mengapa Orang Dewasa Menikah?
Adinda Amalia
Flash
Bronze
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Cerpen
Caelan Kecil Tak Ingin Tumbuh Dewasa
Eldoria
Novel
Lindung
ambarajati
Novel
Bronze
A.M.O.R.E.G.A
@Fatamorgana16
Flash
Bronze
Riku Hasegawa
Rafiahs
Cerpen
Bronze
Ternyata Ka'bah Tidak Melayang-layang
Agus Fahri Husein
Rekomendasi
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Flash
Keadilan Terakhir
Sekar Kinanthi
Flash
77 Questions Before I Was Born
Sekar Kinanthi
Cerpen
Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Flash
Tirai Merah
Sekar Kinanthi
Flash
Keluargaku di Garis Takdir Lain
Sekar Kinanthi
Cerpen
Luna: Bayangan yang Kembali (Prequel Luna: Jiwa yang Hilang)
Sekar Kinanthi
Cerpen
Garis Luka: Prequel Ketika Langit Salah Dengar
Sekar Kinanthi
Cerpen
Halaman Pertama: Prequel Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Flash
Jiwa yang Dikucilkan
Sekar Kinanthi
Cerpen
Heaven is Troubled
Sekar Kinanthi
Cerpen
Ketika Langit Salah Dengar
Sekar Kinanthi
Cerpen
Reuni Dua Jiwa
Sekar Kinanthi
Cerpen
Luna: Jiwa yang Hilang
Sekar Kinanthi