Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Pelukan Tanah Basah
0
Suka
98
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Sejak banjir bandang itu menerjang, suara air tak pernah benar-benar surut dari kepalaku. Siang hari ia mengalir pelan di telingaku, seperti desau yang tak kunjung reda. Malam hari ia berubah menjadi gemuruh yang memukul-mukul dada, seolah jantungku berdetak mengikuti arus yang dulu menelan rumahku, menelan anak-istriku.

Orang-orang bilang aku jahat. Mereka menuding aku mengunci jiwaku dari luar, lalu pergi berdagang ke pasar saat awan muram, dengan santai—tanpa khawatir, tanpa merasa berdosa.

Aku tidak lagi mencoba membantah. Kata-kata mereka menempel lebih keras daripada lumpur pekat yang menyelimuti tubuh istri dan anakku. Lumpurnya bisa dicuci, bisa dikerok dengan air sungai, tetapi kata-kata mereka tidak. Tetap lengket, busuk, melekat di kulit dan tulang. Jadi, apa gunanya membela diri kalau mata orang-orang sudah lebih tajam dari belati?

Hari-hariku berputar tanpa gerigi. Hanya roda kosong tanpa arah. Siang aku bekerja sekadarnya. Raga bergerak tak bernyawa, bagaikan boneka kayu yang dimainkan oleh tangan tak terlihat.

Malamnya, aku kembali ke makam mereka. Aku bawa tikar lusuh, lampu minyak, dan makanan sederhana. Aku letakkan piring-piring di atas tanah basah, dan menunggu. Melihat istriku menyuap. Melihat anakku mengunyah. Seakan mereka masih menantiku pulang.

Rindu mengais dalam gelap. Aku hanya sendiri, tetapi aku merasakan kehadiran mereka. Aku yakin mereka tengah menatapku, atau mungkin sambil memelukku. Atau mungkin mereka marah kepadaku sehingga tidak pernah menyapaku lagi.

Seharusnya aku tak meninggalkan mereka malam itu. Ketika hujan tak kunjung reda, aku mestinya memeriksa kondisi air, tanah, dan posisi tidur mereka.

***

Empat puluh hari setelah pemakaman, langit masih kerap menumpahkan air. Aku mulai menggali parit kecil di sekeliling pusara anak-istriku. Awalnya hanya cekungan tipis, sekadar agar hujan tak menenggelamkan nisan. Namun, malam-malam berikutnya tanganku bekerja tanpa sadar. Aku menumpuk batu, menjejalkan tanah, menyusun karung pasir. Aku tidak lagi tahu apakah aku sedang melindungi mereka dari banjir, atau melindungi diriku dari lolongan samar yang terus mengejarku.

Hujatan dan umpatan membayangi langkahku. Orang-orang di pasar selalu menatapku dengan sinis. Menyayat cerita di balik punggungku. Katanya:

“Mengapa dia selamat sendirian?”

“Bukankah dia yang mengunci pintunya?”

“Anak dan istrinya meninggal dunia, tetapi dia sama sekali terlihat tak berduka.”

Kalimat-kalimat itu menggema umpama gonggongan anjing. Bahkan ketika aku menutup telinga, suaranya tetap lolos melalui celah di kepala. Kadang, aku merasa sungai pun turut berbicara dengan suara mereka—mengalir, menuduh, menyebutku ayah yang tega.

Dari situlah, aku tak pernah berhenti menggali, meski tubuhku menggigil. Aku terus menumpuk batu demi batu hingga jari-jariku berdarah. Darahnya merembes ke tanah, lenyap begitu saja, diserap oleh alam sebagai penebusan dosa. Dosa yang tak kupahami asalnya, tetapi seakan sejak awal ditanamkan untukku, menjadi milikku.

Dingin kian merayap di sela rusuk. Dengung serangga menjelmakan doa yang tercekik. Di bawah cahaya bulan, tanggul yang kubuat menjulang layaknya dinding hitam. Orang kampung yang melintas hanya menggeleng. “Dia sudah gila,” bisik mereka.

Aku tidak mampu membedakan mana bisikan manusia, mana bisikan jasad-jasad yang terpendam. Semuanya sama: menyilet, menusuk, mencengkeram.

Haruskah kubangkitkan arwah-arwah orang terkasihku ini untuk memberikan kesaksian? Lantas, untuk apa aku melindungi mereka, membiarkan mereka terlelap begitu lama?

Aku selalu di samping mereka. Tertidur di antara daun bambu yang kering dan desir angin yang sunyi. Dalam tidurku, suara air acap kali datang, menyamar menjadi tawa anakku dan menjadi nyanyian lembut istriku. Aku berlari menghampiri, tetapi derasnya arus membinasakan segalanya. Aku terbangun dengan air mata bercampur lumpur di pipi.

Aku tahu itu mimpi, tetapi ia terasa lebih nyata dari ketakutanku sendiri. Aku takut mereka mati untuk kedua kali, sementara aku tidak hidup untuk menolong mereka.

Suatu malam, jarak mencekam tak tertahankan. Aku duduk di tepi nisan. Menjadi tamu yang tak disambut. Mendengarkan dengkuran-dengkuran yang merintih dari balik papan. Mereka memintaku kembali ke rumah, dan aku tak peduli.

Aku rebah, memeluk tanah yang masih segar digali. Kelopak mawar, melati, dan kantil menyatu dalam badan. Setiap hari aku memanggil dengan aroma. Berharap mereka hadir dalam wujud apa pun.

Orang luar mungkin melihatku seperti bangkai yang merangkul bayangan. Akan tetapi, bagiku, kami sedang bercakap-cakap mengenai rencana-rencana masa depan.

Aku tidak gila. Mereka yang merasa diri mereka paling waras.

Kupejamkan mata sembari menyusun bola-bola tanah. Hujan tiba-tiba mengguyur deras tanpa aba-aba. Dalam hitungan menit, air mengucur dari bukit, menyusuri jalan setapak, menuju makam-makam. Aku bangkit. Tidak ada kepanikan. Hanya degup dada yang berpacu dengan tangisan dari atas.

“Bedebah!” gerutuku.

Aku menatap tanggul yang sudah kubangun. Genangan meninggi, menekan, menghantam, berbuih. Tanah bergetar di bawah tubuhku. Aku menggenggam nisan seakan ia adalah tubuh istriku.

Sesaat aku menahan napas, menunggu ia melompat, memegang tanganku. Kemudian, tanganku yang lain menarik anakku dari benda-benda yang hendak menyeretnya ke muara.

Namun, air berhenti di bibir tanggul. Ia menggeram, menggeliat, tetapi tidak mampu menembus.

Tanggulku berdiri tegak dan kokoh. Benteng yang kudirikan dengan darah dan serpihan dagingku sendiri, demi menjaga pusara mereka.

Aku tersenyum. Aku merasakan kemenangan. Upayaku menjaga mereka berhasil.

Aku mendengar istriku berucap lirih, “Kamu sudah pulang, Mas.” Lalu, tubuh anakku yang kecil memeluk pinggangku.

Esok paginya, orang-orang kampung menemukanku terbaring di atas pusara. Mereka bilang aku mati kedinginan.

Itu tidak benar. Aku tidak mati. Aku hanya berpindah, dan akhirnya menjadi pelindung tanpa pembatas.

Aku telah bersama mereka. Dalam keabadian.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Pelukan Tanah Basah
Jasma Ryadi
Flash
Titan
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Novel
Gold
Fantasteen Detective Talita
Mizan Publishing
Flash
Dibalik Liontin Merah
Sandra Arq
Novel
Ada Penampakan di Pesantren
Hargo Trapsilo
Novel
Susuk Wanita Malam
Annisa Novianti
Cerpen
Bronze
HANTU WONDO & KORBAN G30S PKI
Sri Wintala Achmad
Novel
Tumbal Pesugihan Tanah Kuburan
AWSafitry
Cerpen
Bronze
Sahabat Ku Maafkan Aku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Lipstick Letter Ghost
Risman Senjaya
Novel
Tok... Tok... Tok...
Rizka Dahlila
Cerpen
Bronze
Turun Gunung
AWSafitry
Novel
Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai
Sisca Wiryawan
Flash
Ketukan
Trippleju
Rekomendasi
Flash
Pelukan Tanah Basah
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Rasa yang Tak Bisa Kembali
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Ketika Kata-Kata Kembali
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Flash
Sosok yang Lain
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Laut yang Tak Menjawab
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Sore Hari Setelah Ibu Tiada
Jasma Ryadi
Flash
Maaf, Aku Lelah
Jasma Ryadi
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Flash
Mereka Bilang Aku Setan
Jasma Ryadi
Flash
Gerimis yang Percuma
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Anita dan Penghuni Lain
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Satu Kali Lagi
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Flash
Lintang
Jasma Ryadi