Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah rumah kayu yang terasa familier. Aku mengamati sekitar, rasanya baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Ada beberapa orang lain yang kukenal, terutama lelaki bersarung hitam itu. Dia tengah mengobrol dengan keluarganya. Aku bersama mereka, namun tak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan.
Lamat-lamat kuperhatikan hiasan pada dinding kayu berwarna biru kehijauan. Tergantung beberapa foto dengan berbagai momen. Potret perempuan di pantai. Foto keluarga dengan latar belakang pelaminan. Juga beberapa foto anak kecil bernuansa vintage.
Entah mengapa, aku merasa sudah agak lama menginap di rumah ini. Tapi sepertinya aku belum pernah berjalan-jalan keluar.
Kulihat, perkumpulan mereka telah usai, lelaki bersarung itu sekarang sendirian. Aku menghampirinya, merengek mengajaknya jalan-jalan di luar.
Semula dia seperti keberatan, lantas menurut begitu saja. Namun, suatu hal yang tak kumengerti tiba-tiba terjadi.
Langit telah pekat. Angin masuk melalui celah-celah pakaianku. Bunyi ragam hewan bersahut-sahutan. Di depan mataku, penuh dengan pepohonan dan semak belukar yang rimbun. Sontak aku mencari dia yang tadi bersedia menemaniku. Kutengok samping kiri dan kanan, takada! Dia menghilang dan aku sendirian.
Mengapa aku berada di hutan tengah malam? Mengapa aku ditinggal sendirian?
Tepat saat jantungku berdegup semakin kencang, aku melihat Mama dan Kakak di depan sana. Mereka mengajakku berjalan maju. Aku menurut.
Baru satu langkah, kakiku terasa perih bak terjerat sesuatu. Aku menunduk, samar-samar terlihat tanaman berduri menjerat kakiku dengan kuat. Perlahan kusingkirkan, tetapi sulit. Aku pun berupaya memanggil-manggil Mama dan Kakak, namun suaraku seperti tak keluar.
Melihat mereka semakin menjauh, aku pun menarik paksa duri-duri yang menjerat sampai mata kakiku. Terasa ada yang mengalir melewati celah-celah jari kaki.
Aku berniat berlari, mengejar ketertinggalan. Saat mulai melangkah lagi, tanaman-tanaman berduri kembali merambat di kedua kakiku. Terjerat lagi. Sampai akhirnya Mama dan Kakak tak lagi terlihat. Mereka menghilang di balik kabut dan pepohonan. Bagaimana bisa mereka melangkah tanpa terjerat tanaman berduri? Apakah tanaman ini hanya menjeratku? Tapi kenapa?
Dengan sekuat tenaga, kutarik lagi tanaman berduri itu dari kedua kakiku. Rasa panas dan perih jadi satu. Tiba-tiba aku berinisiatif untuk kembali, entah kembali ke mana, aku tak tahu. Tapi hatiku terus berbisik agar aku segera kembali pulang.
Sekejap saja, aku berada di kamar. Kulihat luka-luka di kakiku yang berbentuk seperti cakaran. Darahnya telah mengering. Aku merebahkan tubuh sejenak.
Beberapa saat kemudian, terdengar deru motor berhenti di depan rumah. Gegas kubuka pintu. Rupanya Mama. Dia sendirian. Tergopoh-gopoh memasuki rumah. Aku sedikit terpana melihat langit yang cerah, tidak gelap lagi.
“Di mana obat untuk luka?” tanya Mama dengan raut wajah cemas.
Aku merasa tersentuh. Apakah Mama menyadari bahwa kedua kakiku terluka?
“Sampek nggak bisa jalan. Harus pakai obat untuk luka,” kata Mama lagi.
Aku pun berjalan sembari menahan pedih. Kuambil obat tetes khusus luka, sekaligus beberapa plester. Mama pun menerimanya dan langsung berbalik badan. Aku agak terheran, sebab dia tak melihat kakiku sama sekali.
“Mama mau ke mana?” tanyaku sembari membuntutinya.
“Antar obat untuk Kakak. Kakinya luka. Dia nggak bisa jalan.”
Aku terkesiap. Rupanya untuk Kakak. Meski demikian, ada rasa khawatir yang menyelusup dalam dada. Sontak aku meminta ikut, ingin melihat kondisi Kakak. Mama membolehkan.
Sepanjang perjalanan, aku berpikir tak keruan. Terluka parahkah dia? Separah apa? Bagaimana membawanya pulang jika parah? Apa yang menyebabkan dia terluka parah? Tampak bulan purnama menghiasi langit yang kelam. Ya, tiba-tiba langitnya kembali gelap.
Kami sampai di hutan lagi. Kulihat Kakak duduk di sebuah pendopo. Dia menangis. Aku merasa kasihan dan berlari menghampiri dengan kaki yang nyaris mati rasa.
Saat itu, barulah Mama melihat kakiku dan berkata, “Kakimu kenapa? Kena cakar?”
Aku diam. Dia mengucapkannya dengan wajah datar. Aku akan bersikap baik-baik saja jika dia tidak menaruh simpati.
Aku segera mengecek kondisi Kakak. Kulihat punggung kakinya ada luka yang sama seperti di kakiku, namun hanya beberapa goresan saja. Sementara kaki sebelahnya justru tak tergores apa pun.
Kakinya lebih bersih dari luka ketimbang kakiku. Kubandingkan antara punggung kaki milik Kakak dan milikku. Sangat berbeda. Lukanya lebih banyak di kakiku.
Mama segera merawat luka di kaki Kakak. Dia memasang wajah khawatir.
Aku pun menjauh. Memikirkan banyak hal. Apa karena Kakak berjalan jauh sehingga saat terluka meski kecil dia jadi tidak sanggup berjalan? Mengapa aku masih sanggup berjalan meski terluka begitu banyak? Ah, mungkin saja dia cedera juga, bukan hanya terluka.
Aku kembali ke rumah, entah bagaimana caranya. Yang jelas aku sudah sampai di rumah. Dengan suasana hati yang sulit dijelaskan.
“Ra, bangun. Ayo bangun, Rara.”
Samar-samar kudengar suara seseorang, seperti suara Mama. Saat membuka mata, langit-langit kamar yang pertama kali kulihat. Dadaku terasa sesak. Mataku memanas. Aku hendak menangis, entah mengapa aku merasakan kesedihan yang luar biasa. Aku tak mengerti alasannya. Rasanya seperti kehilangan sesuatu. Rasanya aku baru saja ditinggal oleh seseorang.
Dengan mata yang masih agak berat untuk dibuka, aku duduk dan mengamati kedua kakiku. Baik-baik saja. Namun, aku merasakan perih di kedua punggung kaki itu. Sampai kuraba berkali-kali. Bersih, tidak ada luka. Jadi tadi hanya mimpi?
Aku mencoba berdiri dan tiba-tiba ambruk. Kedua kakiku tak mampu menopang tubuh. Lemas. Perih. Sakit. Mengapa terasa seperti nyata? Benar hanya mimpikah?
Saat aku mengucek kedua mata, terasa basah. Aku segera berkaca, rupanya kedua mataku sudah sembab. Kapan aku menangis?