Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mat Ambon pembersih WC di kampus sastra, tapi tidak pernah merasa benar-benar jadi “pegawai” di sana. Ia lebih mirip bayangan yang menandak-nandak, berkeliaran di lorong, dengan bau karbol melekat di tubuhnya yang kurus jangkung. Upah Mat Ambon kecil, cukup untuk kos, rokok eceran, dan mie instan. Tapi ia punya satu kekayaan yang tak banyak orang tahu, diam-diam ia menyimpan rasa rindunya pada seorang mahasiswi Sastra Inggris, berkerudung hitam, berhidung bangir, dengan celak mata yang mengingatkannya pada potret seorang perempuan Palestina di koran.
Ia tidak pernah bicara panjang lebar dengannya, jangankan bicara, memandang pun tak berani. Perempuan itu sering mengucap excuse me atau “permisi, Mas,” ketika troli pel menghalangi jalannya. Dan senyumnya—senyum itu—menjadi bacaan harian baginya, seperti ia membaca kitab suci setiap subuh. Senyum gadis berkerudung hitam itu, yang menumbuhkan keberanian untuk terus menyikat lantai, menggosoknya sampai kinclong, seakan tiap keramik yang kemilau bisa jadi persembahan yang membahagiakan buat si gadis.
Mat Ambon, membayangkan WC kampus sebagai ruang altar: dinding penuh doa meski beberapa mahasiswa berseliweran bak semut rangrang mencari ilmu dan KRS sesuai harapan, pipa-pipa berisi arus rahasia, dan cermin di atas wastafel yang memantulkan wajah orang-orang itu memantulkan cahaya. Di ruang inilah ia menyimpan mimpi pribadinya.
“Kapan-kapan kita foto berlatar biru,” bisiknya pada gagang pel, seolah pel itu adalah saksi yang paling bisa menyimpan rahasia. Latar biru bukan sekadar warna, tapi janji: sebuah kursi di Kantor Urusan Agama, dua tanda tangan, dan dua nama yang dipanggil petugas dengan tersipu-sipu.
Ia tahu dirinya cuma pembersih WC—sementara gadis itu bisa melafalkan Sonnet 18, karya Shakespeare dengan sangat fasih. Dan di kepalanya itulah—di ruang yang amat privat, mereka bisa berdiri sejajar di depan kamera. Biru jadi langit yang direntang dengan panjang kali lebar begitu presisi, menutup semua ketimpangan dan tetek bengek kelas sosial yang menjeda keduanya.
Tapi altar itu hanya bayangan, tetap saja Mat Ambon datang ke sana untuk menggosok lantai, agar tampak lebih kinclong. Bukan untuk berfoto layar biru.
Kadang ia membayangkan, gadis itu masuk WC hanya untuk mencuci tangan rampingnya. Air menetes dari jemari, dan ia—Mat Ambon sedang jongkok menggosok ubin—melihat pantulan wajahnya di genangan. Dari pantulan itulah, gadis itu seolah berkata: “Kita bisa, asalkan kamu lebih berani.” Tapi begitu ia mengangkat kepala, gadis itu sudah pergi, meninggalkan aroma sabun cair yang membuatnya mabuk kepayang.
Hari-hari berikutnya, Mat Ambon bekerja lebih rajin. Lantai tak cuma harus berkilau, tapi juga harus wangi cairan yang aromanya tidak murahan. Ia ingin gadis itu sekali saja berhenti, melihat cermin WC, lalu menangkap pantulan dirinya—bukan sekadar bayangan lelaki tak punya nama, tapi seseorang yang cukup berani untuk berkata: “Aku ingin meminangmu.”
Namun realitas berlaku lebih runyam dari fantasi. Ia tahu: untuk gadis itu, dirinya mungkin cuma sebuah latar belakang serupa benda mati. Latar yang harus disapu sampai bersih dari kerikil-kerikil debu, dipel sampai mengkilap, dan dilupakan begitu saja karena tak penting.
Mat Ambon harus menyimpan doa itu. Bahwa suatu saat, ketika dunia lengah tak memperhatikan dirinya yang terlalu lama bermimpi, mereka berdua bisa duduk di kursi dengan latar belakang layar biru betulan, denngan senyum canggung menghadap kamera, kain membentang di belakang punggung yang tegak. Sebuah foto sederhana, tapi maknanya lebih abadi daripada mimpi utopis, sebuah hidup yang membawa keadilan berperikemanusiaan.
Realitas, bagaimanapun adanya, selalu lebih kaku dari fantasi siang bolong. Suatu pagi, saat ia sedang mengganti kantong sampah WC perempuan, Mat Ambon mendengar dua mahasiswi bercakap di luar. Suara mereka bercampur dengan suara gemericik air dari kloset.
“Eh, udah tahu belum? Si A—yang jilbaban hitam itu—minggu depan lamaran. Sama anak dekan Sastra Inggris.”
Tawa pecah. Air kran masih menyala. Suara yang masuk telinga Mat Ambon tidak ikut mengalir bersama air, gendangnya berhenti di satu kata: lamaran. Ia hampir menjatuhkan plastik sampah di tangannya. Kata itu menancap seperti paku di papan kayu lapuk dalam batinnya. Ia tak berani keluar dari WC wanita. Hanya berjongkok di lantai, memandangi keramik yang masih basah. Di kepalanya, dunia terbelah dua: satu dunia nyata yang pilu, dan satu dunia berlatar biru yang semu.
Di dunia nyata, gadis berkerudung hitam itu duduk manis di ruang tamu, menerima cincin dari anak dekan. Foto berlatar biru sudah menunggu, kursi KUA sudah siap, nama mereka akan dipanggil dengan suara MC yang harga sewanya lebih mahal dari harga sewa kamar kosnya.
Dan, di dunia biru milik Mat Ambon yang lugu, WC kampus berubah jadi studio raksasa. Lantainya bukan lagi keramik, tapi laut yang memantulkan cahaya. Ember pel menjadi kamera digital beresolusi tinggi. Dinding-dinding membuka diri jadi tirai langit, yang kalau disingkap bunyinya seperti kicau burung camar. Ia berdiri di samping gadis itu, berdua, senyum malu-malu tapi bahagia melebihi manisnya madu, dan fotonya punya bingkai dari kerang laut. “Kapan-kapan kita foto berlatar biru,” katanya. Dan dalam lamunan itu, si gadis berkerudung hitam menjawabnya, “Iya.”
Air hujan tiba-tiba turun dari langit, menetes ke kepalanya. Atau mungkin bukan hujan—tapi pipa bocor yang merembes begitu derasnya. Mat Ambon membiarkannya. Ia tak peduli tubuhnya basah, seolah-olah sedang berpose di depan kamera dengan latar belakang biru, dan ombak berkejaran membelah samudera. Ia tahu: di dunia nyata, tirai berlatar biru akan menjadi milik orang lain. Foto itu akan terpasang di ruang tamu keluarga Pak Dekan, dalam pigura kayu dengan bunga kaca di sekitarnya.
Tapi di dunia yang baru saja basah tersiram air kotor dari saluran pembuangan itu, biru cuma jadi miliknya. Gelap seperti dalamnya air laut, bergeming meski cakar camar membelah permukaan ombak.
Pada lantai WC wanita, dan dalam genangan tajamnya aroma karbol, ia percaya, ketika ia bertanya: “Kapan-Kapan Kita Foto Berlatar Biru.”
Sang gadis pun menjawab, “iya”.