Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku terbangun tanpa alasan. Lampu kamar mati, tetapi gelapnya tidak utuh. Ada sedikit cahaya dari lampu lorong yang merembes lewat celah pintu. Udara di dalam kamar dingin dan diam, seperti rumah kosong yang sudah lama ditinggalkan.
Lalu, aku mencium sesuatu. Tipis, samar, tetapi jelas: wangi sabun dan sampo yang masih segar.
Aroma itu datang dari arah dinding di samping tempat tidurku, tepat di jalur saluran air pembuangan yang bermuara di kali. Sebelumnya, aku tidak pernah memperhatikannya. Ia sering lewat dalam lelapku, menyelinapkan hawa menusuk tulang, dan aku menganggapnya sebagai angin bawah sadar.
Namun, kali ini, aku penasaran. Baunya begitu akrab. Aku pun mulai menelusuri jejaknya.
Aku lari ke belakang rumah. Aku periksa selokan. Tak terdapat busa ataupun tanda-tanda orang sehabis mandi. Hanya ada senyap dalam dekapan gelap yang pekat.
Benar. Lagi pula, siapa yang terbiasa membersihkan badan pukul tiga pagi? Ini bukan waktu yang wajar untuk hal tersebut, bukan?!
Aku kembali ke kamar. Di meja kerja, berkas-berkas masih menumpuk. Ingin menyentuhnya kembali, tetapi mataku berat. Kupaksa berbaring lagi, dan aroma itu kembali menyeruak. Merayap dari celah yang retak. Ia menempel di udara. Tidak menusuk, hanya tidak mau hilang.
Terserah. Aku tidak mau mengorbankan jam tidur untuk menyelidiki ketidakpastian.
Malam-malam berikutnya, wewangian itu kadang muncul, kadang tidak. Namun, setiap kali ada, waktunya hampir sama. Pun, setiap kali itu terjadi, rumah mendadak terasa sepi dengan cara yang berbeda. Ada hening yang menggantung di sekeliling. Sunyi yang bahkan suara napasku pun tak terdengar.
Malam keempat, aku terbangun lagi. Perut kosong, seperti aku tak makan seharian. Aku ke dapur, makan seadanya sambil berdiri. Lalu, entah kenapa, tubuh begitu lengket dan kotor.
Aku masuk ke dalam bilik kamar mandi. Air membasuh tubuhku. Aroma sabun membungkus kulit dibarengi rambut yang minta dibersihkan. Saat selesai, kulihat jam dinding di dapur menunjuk pukul tiga tepat.
Aku pikir hanya kebetulan. Sampai hal tersebut berulang: makan—mandi—pukul tiga.
Malam ketujuh, aku memutuskan mengubahnya. Aku tetap terjaga. Bekerja hingga pukul dua. Kantuk menyerang, aku terus melawan.
Tiba-tiba kamar bak sauna. Kipas angin tak mampu menetralisasi panas, justru makin membuatku kegerahan. Keringat bercucuran, seakan ingin meluruhku sesuatu. Aku membuka jendela. Mengalirkan udara ke dalam. Meredam hasrat untuk mandi.
Jam bergerak pelan. Pukul dua lewat tiga puluh menit, aroma itu datang. Menjalar bagai kabut, tetapi lebih tebal, manis, dan langsung memenuhi paru-paru.
Aku lantas duduk di lantai, punggung menempel ke dinding. Ada suara samar di baliknya, tetesan jatuh ke lantai licin. Kemudian, suara langkah. Pelan. Menjauh, lalu kembali lagi.
Pukul tiga kurang satu menit, bau itu berubah menjadi hangat. Dinding di belakangku lembap. Saat kusentuh, jariku basah. Busa tipis menempel di kulit, dan aromanya… aromaku sendiri.
Aku berdiri, mundur. Pandangan kabur sekejap. Sebuah gambaran menyusup di kepala: aku sedang mengalirkan air ke seluruh badan, menunduk, membersihkan bekas ceplakan peluh. Dia—aku— mengangkat wajah, menatap lurus ke arahku. Dia seolah tahu aku memperhatikannya. Bibirnya bergerak, membentuk kata yang tak sempat kupahami.
Aku berkedip. Kini, aku berdiri di ambang pintu kamar mandi. Lantainya basah. Sebuah handuk basah menggantung di belakang pintu, meneteskan air ke ubin. Aku tidak ingat pernah memakainya malam ini.
Aroma sabun menyelimuti ruangan. Di luar, langkah itu menjauh, menghilang bersama wangi yang sama persis dengan tubuhku.
Aku menatap handuk itu lama. Tanpa sadar, aku mulai bertanya-tanya: mungkin dari awal, aroma di balik dinding itu bukan berasal dari luar. Mungkin memang selalu dari sini. Dari aku.
Atau dari sesuatu yang ingin menjadi aku.