Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi menyelinap tanpa suara. Langit belum sepenuhnya biru, tetapi cahaya sudah cukup untuk menunjukkan betapa kosongnya jalanan kecil di depan rumahku. Aku keluar, membawa dompet tipis dan langkah yang terasa terlalu berat untuk sekadar membeli bubur.
Warung di ujung gang sudah buka. Uap dari panci besar menggantung di udara, bercampur aroma kaldu dan sedikit asap kendaraan dari jalan besar. Aku berdiri sebentar, memesan seperti biasa, lalu menunggu.
Kulihat kesibukan menyindir. Orang-orang lalu lalang menuju tempat kerja. Sementara aku, belum tahu yang harus kulakukan setelah perutku terisi.
Kadang aku menilai diriku telah gagal. Tak ada harapan. Tak ada cerah di masa depan. Usia terus menanjak, kesempatan kian menurun.
Di sisi lain, aku tidak mau menyerah pada apa pun. Aku tidak mau dikatakan gengsi. Tidak mau pula disebut pemalas. Rumit. Mungkin pikiranku sendiri yang membuatku demikian.
Aku mempercepat ayunan kaki kembali ke rumah. Aku tidak ingin bertemu dengan sesuatu yang membuat mentalku surut.
"Nggak kerja, Di?" tanya seorang ibu di seberang rumahku. Senyumnya datar. Matanya tak benar-benar menatap. Tangannya menggesek-gesekkan lidi ke aspal.
Aku mengangguk kecil. Tidak menjawab. Sebab aku tahu, itu bukan pertanyaan.
Sudah dua bulan sejak aku terakhir kali masuk kantor. Pulang membawa kotak kardus kecil berisi mug, satu figura kecil, dan beberapa barang yang kubiarkan saja berdebu. Tak ada air mata. Tak ada pelukan. Hanya angka dan efisiensi yang tak pernah memberi ruang bagi sejarah.
Kini, aku di rumah. Setiap hari. Dari pagi hingga malam. Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding menjadi laki-laki yang ada di rumah di hari Senin.
Aku menyapu, mencuci, mengepel, menyiapkan makan siang. Aku membaca artikel tentang dunia kerja, menyusun ulang CV, mengirim lamaran. Namun, semua hal tersebut tak pernah cukup untuk membungkam suara-suara sumbang.
"Kok di rumah terus?"
"Belum kerja lagi?"
"Betah amat nganggur?"
“Terlalu pemilih, sih. Kerja mah apa aja yang penting halal.”
Aku tersenyum sopan tiap kali mendengarnya. Akan tetapi, dalam kepala, kalimat-kalimat itu terus mengendap. Menjadi noda yang tak bisa dicuci.
Awalnya, aku coba menghabiskan waktu seolah masih berkutat dengan 8 jam sehari. Aku duduk berjam-jam di kafe kecil dekat taman. Menatap layar laptop, menulis hal-hal remeh agar terlihat memiliki pekerjaan. Membeli satu kopi yang kuminum perlahan hingga sore. Bukan karena ingin bekerja di luar, melainkan karena aku ingin menjauh dari pandangan mereka.
Dunia terlalu keras pada laki-laki yang diam. Seakan nilainya hanya ada pada penghasilan dan keberangkatan pagi hari.
Aku paham. Laki-laki memang seharusnya bertulang besi. Ia pemimpin. Ia pencari nafkah. Hanya saja, aku tidak suka cara memandang satu arah. Mengias lewat perhatian. Mengejek tanpa pernah berada di posisi itu.
Aku belum mendapat tempat lagi. Mungkin ego. Mungkin karena ketimpangan antara hak dan kewajiban dalam dunia kerja saat ini.
***
Hari berdetak pelan, tetapi angkasa tiba-tiba sudah berwarna jingga. Seperti buku tulis baru yang belum terisi, tetapi sudah berpindah halaman.
Aku susun ulang anggaran belanja. Aku harus hemat. Dulu, aku bisa jajan tanpa berpikir. Sekarang, satu bungkus rokok yang kubeli hanya untuk digenggam. Masih tergeletak rapi di atas meja. Segel plastiknya belum kurobek.
Aku tidak membelinya sebagai pajangan, tetapi yang terjadi malah demikian. Aku tak berani membukanya. Aku khawatir tak ada lagi yang bisa kubanggakan esok pagi.
Puluhan lamaran sudah kudaratkan. Beberapa memasuki tahap wawancara. Kemudian, menguap dalam kalimat, “Nanti kami hubungi.”
Aku takut pada waktu yang lewat tanpa hasil. Namun, aku lebih takut pada rasa malu yang terus bertambah setiap kali keluar rumah. Haruskah mengurung diri atau berpura-pura berdasi sampai mendapat kepastian?
Aku rindu Senin yang padat merayap. Aku rindu ketenangan, keamanan, dan kenyamanan. Melintas di hadapan mereka tak merasa memasuki ruang interogasi. Terlalu banyak orang punya waktu untuk melihat siapa yang tak pergi ke mana-mana.
Aku mencoba tetap waras. Terus menelusuri lowongan pekerjaan di internet, membaca buku, membersihkan kamar mandi yang tak perlu dibersihkan. Hal-hal kecil itu mengisi pergerakan waktu, meski tetap saja ada lubang yang menganga. Tak bisa kutambal dengan aktivitas domestik.
Riuh suasana di luar menggoda pandanganku. Dari balik jendela, anak-anak lewat bersepeda. Seorang bapak memanggil anaknya pulang. Semuanya berjalan seperti biasa. Dunia berputar tanpa menunggu siapa pun.
Sementara, aku masih di sini. Menatap layar ponselku. Menunggu notifikasi.
Sesekali aku ingin berteriak: “Aku tidak hina! Aku tidak mempermalukan siapa pun! Aku hanya sedang mencari hidupku sendiri!”
Suara itu, hanya menggema di kepalaku sendiri. Aku tak henti memanjatkan doa. Memohon yang terbaik untuk semua ini:
“Tuhan, aku tidak masalah jika setiap hariku adalah Senin. Asal aku bisa terus berjalan. Asal aku tak lagi punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan. Jangan beri aku terlalu banyak jeda. Karena di situlah suara-suara itu tumbuh.”
Aku jatuhkan badan ke kasur, mencoba meredakan lelah yang menumpuk. Notifikasi email masuk, menarik perhatianku. Dengan hati-hati, aku membuka pesan itu.
Ternyata, itu balasan dari salah satu lamaran yang kukirim. Aku diterima, dan mereka mengirimkan draft kontrak untuk kuperiksa.
Biasanya, aku hanya membaca sekilas tentang tugas dan durasi kerja. Namun, kali ini, aku membaca setiap kata dengan lebih saksama, terutama bagian hak dan kewajiban.
Ketika sampai pada bagian gaji, napasku terhenti sejenak. Angka yang tercantum jauh di bawah UMR. Jauh dari ekspektasi dan bayanganku.
Aku duduk terdiam, pikiran bercabang-cabang. Apakah ini jawaban dari doa yang kuucapkan? Atau justru sebuah ujian baru untuk menahan langkah dan bersabar lebih lama?
Ada keraguan yang menetap, di antara harapan dan ketakutan akan kenyataan. Aku berdiri di persimpangan keduanya, tanpa tahu harus memilih yang mana.