Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dita tahu, kesepian itu tidak pernah datang tiba-tiba.
Ia merayap, seperti genangan air di sudut kamar mandi yang luput dilap. Tidak terlihat berbahaya, tapi lama-lama membuat kaki licin dan jatuh.
Sudah enam bulan sejak ia menandatangani surat cerai. Enam bulan pula ia menghuni apartemen sempit di lantai 11, dengan balkon yang langsung menghadap kota dan jalan tol yang tak pernah tidur. Hujan menjadi suara latar hampir setiap malam di bulan Desember.
Di malam hujan pertama, ia bertemu Bagas.
Awalnya hanya sekilas.
Dita keluar balkon untuk mengambil jemuran yang basah. Dari sela pagar besi tipis, ia melihat pria itu duduk di kursi rotan, rokok di tangan, menatap jauh ke arah lampu-lampu kota.
“Basah,” katanya tiba-tiba.
Dita menoleh.
“Maksudnya?”
“Bajunya. Basah. Kalau masuk angin, repot,” ujarnya. Suaranya datar, tapi tidak terdengar asing.
Dita hanya mengangguk, lalu kembali masuk.
Itu seharusnya menjadi pertemuan pertama sekaligus terakhir, kalau saja dia bukan tipe pria yang selalu pulang larut, tepat di jam Dita sedang berdiri di balkon, menunggu matanya lelah.
Mereka mulai berbicara.
Tidak setiap malam. Tidak terlalu lama. Tapi cukup untuk membuat Dita merasa apartemen itu tidak sepenuhnya sunyi.
“Kerja apa, Mas?” tanya Dita suatu malam.
“Kontraktor,” jawabnya singkat.
Dita tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengingat bentuk tangannya yang besar, dengan bekas luka di punggung telapak—luka yang seperti pernah dilihatnya di masa lalu, entah di mana.
Suatu malam, hujan deras. Angin membawa percikan air masuk ke balkon. Dita keluar hanya untuk memindahkan kursinya. Tapi suara Bagas menghentikannya.
“Jangan masuk dulu. Hujan gini, kopi paling enak,” katanya, sambil mengangkat dua gelas.
Dita tersenyum. “Saya enggak biasa minum kopi malam-malam.”
“Teh manis, kalau begitu.”
Ia menyodorkan gelas lewat sela pagar. Dita menerimanya.
Keduanya berdiri di tepi balkon, dipisahkan besi setinggi dada. Tak ada yang bicara. Hanya suara hujan, aroma teh hangat, dan bunyi rokok yang dibuang ke asbak.
Sejak itu, ritual balkon dimulai. Kadang teh, kadang sekadar rokok untuk Bagas dan biskuit untuk Dita. Kadang hanya saling menatap jalanan di bawah tanpa satu kata pun.
Tapi Dita tahu, tatapan pria itu kadang terlalu lama berhenti di wajahnya. Dan ia tidak menepisnya.
Di suatu hujan malam, Bagas berkata, “Kalau hujan, saya selalu ingat sesuatu.”
“Apa?”
“Pernah nunggu orang, tapi dia nggak datang.”
Dita tersenyum tipis. “Saya pernah.”
Tatapan mereka bertemu. Ada jeda yang terlalu panjang di sana, cukup untuk membuat dada Dita terasa aneh.
Bagas jarang bercerita. Tapi malam itu ia duduk di kursi rotan, sementara Dita bersandar di pagar.
“Dulu saya nikah muda. Gagal. Bukan karena orang ketiga. Karena saya nggak cukup berani,” katanya pelan.
Dita hanya mengangguk. Ia ingin bertanya, tapi tidak ingin merusak alur cerita.
“Kamu sendiri?” tanya Bagas.
“Cerai enam bulan lalu,” jawab Dita.
“Anak?”
Dita menggeleng. “Nggak sempat.”
Bagas tersenyum, tapi matanya tampak jauh.
Suatu malam, Dita tak sengaja melihat Bagas memandangi sebuah foto kecil di tangannya. Wajah di foto itu samar, tertutup setengah jemari.
“Siapa?” tanya Dita.
“Orang yang harusnya saya tunggu waktu itu,” jawabnya singkat.
Dita tidak bertanya lagi. Tapi malam itu, saat berbaring di ranjang, ia merasa wajahnya sendiri terpantul di foto itu. Entah kenapa.
Hubungan mereka tak pernah resmi, tak pernah jelas. Tapi ada sentuhan-sentuhan kecil—jari Bagas yang menyentuh punggung tangan Dita saat menyerahkan gelas, bahunya yang nyaris menyentuh saat keduanya bersandar di pagar balkon yang basah.
Hingga suatu hujan lebat di awal Februari, listrik padam. Seluruh lantai gelap.
Dita keluar balkon dengan senter ponsel. Dari kegelapan sebelah, suara Bagas memanggil.
“Mau ke sini?” tanyanya.
Dita menatap pagar besi itu. “Lewat mana?”
“Ada pintu darurat di ujung koridor. Kita cuma satu unit terpisah.”
Dita ragu. Tapi langkahnya akhirnya membawanya ke pintu sebelah.
Balkon Bagas terasa lebih luas. Ia sudah menyalakan lilin di atas meja rotan. Hujan memercik, tapi tak mengganggu.
“Gini lebih enak,” katanya.
Mereka duduk berhadapan. Lilin membuat wajahnya terlihat lebih muda, garis rahangnya lebih tegas.
“Apa yang kamu tunggu, Bagas?” Dita akhirnya bertanya.
Pria itu menatapnya lama. “Kamu.”
Jantung Dita berdegup. “Maksudnya?”
Bagas tersenyum tipis. “Waktu saya nikah sama istri saya dulu… dia punya adik. Adik ipar yang nggak pernah mau ketemu saya. Saya cuma lihat sekali, di foto keluarga. Sejak itu, entah kenapa, wajah itu nggak pernah hilang dari kepala saya. Setelah dia meninggal, saya cari adik iparnya. Dan… ya, ternyata dia pindah ke apartemen ini enam bulan lalu.”
Dita membeku. “Kamu tahu ini dari awal?”
Bagas mengangguk. “Saya pindah ke sini karena kamu.”
Hujan di luar semakin deras. Dita tidak tahu harus marah atau terharu. Tapi di dada, ia merasa panas dan dingin bercampur.
Di luar, kota terus berkilau. Di dalam, lilin perlahan habis.
Sejak malam itu, ritual balkon berubah. Kadang mereka duduk di balkon Bagas, kadang di balkon Dita. Tidak ada lagi pagar besi yang menjadi batas. Tapi juga tidak ada kata cinta yang terucap.
Hanya hujan yang tahu, dua orang kesepian telah menemukan cara untuk menunggu bersama.