Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Religi
Tuhan, Engkau di Langit yang Mana?
1
Suka
600
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Sudah pukul dua pagi. Hujan belum berhenti sejak magrib. Air dari talang kos menetes ke ember tua. Bau lembap bercampur debu menempel di dinding. Catnya mengelupas membentuk peta negara-negara yang tak pernah kukunjungi.

Baju kerjaku tergantung di pintu, basah separuh, menyerah di tengah perjalanan pulang. Di meja, laptop kantor masih menyala. Aku belum menutupnya sejak sore tadi. Besok pagi, laptop ini harus kukembalikan—bersama kartu akses, lanyard biru, dan sisa identitasku sebagai karyawan. Di sebelahnya, amplop putih dengan huruf tebal: Pemutusan Hubungan Kerja – Efisiensi Internal.

Efisiensi. Kata sopan untuk menyingkirkan tanpa terlihat kejam. Aku tahu ini bukan soal kinerja. Masalahnya sederhana: aku tidak pandai mengangguk pada kalimat bodoh atau menepuk punggung orang yang memegang kunci promosi. Di kantor, itu disebut “tidak fleksibel”.

Di ruang Finance, Imam tampil rapi seperti katalog, ramah seperti brosur. Angka-angkanya mengembang manis di layar proyektor, meski dokumen aslinya hanya roti sobek berisi kapas. Tiga juta menjadi lima juta. Seratus ribu menjadi dua ratus lima puluh ribu. Semua mulus di dalam laporan.

Pernah aku selipkan dokumen asli ke meja direksi. Kupikir, kebenaran cukup datang sendirian. Ternyata, kebenaran butuh tanda tangan sebagai pengantar.

Aku yang dipanggil, diminta “memahami sistem”. Setelahnya, aku dipindahkan ke bagian logistik. Satu meja dengan tumpukan formulir dan benda-benda usang. Diturunkan sekaligus dibungkam. Mungkin.

Imam? Dia justru naik menjadi manajer operasional.

Adil. Aku bahkan kehilangan kata untuk memaknainya. Aku tahu bahwa aku ini tidak suci. Tidak pula sedang merasa lebih baik dari siapa pun.

Aku tidak iri. Aku hanya bertanya. Bukankah aku menjalankan aturan-Mu? Tidak mencuri. Tidak memfitnah. Tidak membalas hinaan, walau rasanya sudah menumpuk seperti karung di gudang. Honor tambahan selalu kubagi dua untuk Ibu di kampung, meski itu artinya makan mie instan polos tujuh malam berturut-turut.

Tuhan, kalau Kau memang melihat, kenapa Kau hanya menonton?

Setiap subuh, aku tetap duduk di sajadah yang mulai tipis. Meminta hal-hal yang sama—kesehatan Ibu, hati yang lapang, rezeki yang halal.

Namun, mengapa rasanya aku ini barang sisa lelang, Tuhan?

Siang tadi aku melihat Imam makan bersama atasan di lounge lantai atas, tempat yang belum pernah aku injak. Arlojinya baru, berkilau dengan diam yang menuntut. Aku tak tahu itu bonus proyek atau sisa anggaran, dan aku tak ingin tahu. Pahit itu menetap. Tersisa di ujung rasa tanpa kata.

Aku pernah bertanya pada rekan kerja, “Tidakkah capek hidup dengan kepalsuan?” Dia tertawa, mengaduk kopinya dengan gerakan yang kosong.

“Justru capek kalau lu jujur terus, Gas. Nggak semua orang bisa hidup idealis terus-terusan. Dunia nyata butuh fleksibilitas. Butuh topeng.”

Kata itu, topeng, terus menghantui pikiranku. Menggerogoti keimanan yang kugenggam. Menggodaku pikiran, yang lelah memikul kebutuhan.

Malam ini, aku menangis. Bukan karena kehilangan pekerjaan, tetapi karena kehilangan arah. Hujan menimpa seng di atap. Jeda di antara setiap ketukan membuka ruang bagi pikiran-pikiran yang sulit dilahirkan. Aku sadar, mungkin aku telah menatap langit yang keliru.

Tuhan, Engkau di langit yang mana? Langit yang penuh dengan wajah yang berubah, atau langit yang menutup pintu bagi mereka yang berjalan sendiri? Atau langit yang tak pernah memedulikan urusan jabatan dan gaji?

Setiap kali aku menengadah, aku ingin percaya suaraku sampai. Namun, ada keraguan tersemat dalam batin. Mungkin doaku hanya berputar di ruang kecil ini, lalu jatuh kembali tanpa arti. Dunia tak memberi jawaban, hanya memantulkan pertanyaan.

Angin malam menyibak tirai jendela, membawa aroma tanah basah. Hujan berhenti sesaat. Napas tertahan dalam sesak.

Keheningan itu bukan jawaban. Bukan juga penolakan. Aku menatap gelap, dan untuk sekejap aku gamang. Apakah langit yang kutatap adalah milik-Mu? Ataukah aku yang belum seutuhnya menemukan-Mu?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Flash
Tuhan, Engkau di Langit yang Mana?
Jasma Ryadi
Novel
Aku dan Syawal
Siti Sarah Madani
Novel
Bronze
Before Sunrise
Agil Tiara
Novel
Gold
Yasmin
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Air Mata Yang Diharamkan
Temu Sunyi
Novel
Gold
No More Broken Heart
Mizan Publishing
Novel
Gold
Ahed Tamimi
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Jeki dan Jin Qarin
Chiavieth Annisa06
Flash
Sita Permata Syurga
Rahmi Susan
Komik
Imran dkk.
Haryati S Slamet
Flash
Pada Hitungan Ketiga
Hadis Mevlana
Novel
Bronze
Gadis Berhati Malaikat
Ardita
Novel
Gold
Musafir Biker
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Cinta Santri Sakura
FH
Flash
Bronze
Iblis tak bisa menyesatkan, Nabi tak bisa memberi hidayah
Mukti Dwi Wahyu Rianto
Rekomendasi
Flash
Tuhan, Engkau di Langit yang Mana?
Jasma Ryadi
Flash
Sosok yang Lain
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Ayah, Ke Mana Orang-Orang Setelah Mati?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Data dan Mereka
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Hasnah dan Debur Ombak
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Semangkuk Mie Ayam Sebelum Mati
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Reuni di Bangku Cadangan
Jasma Ryadi
Flash
Satu Langkah Setelah Luka
Jasma Ryadi
Flash
Mereka Bilang Aku Setan
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Gamophobia
Jasma Ryadi
Flash
Akar di Kepala Ibu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Prenuptial Agreement: Antara Luka dan Logika
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Firasat Mimpi
Jasma Ryadi
Novel
Mereka di Sini
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi