Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Religi
Tuhan, Engkau di Langit yang Mana?
0
Suka
24
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Sudah pukul dua pagi. Hujan belum berhenti sejak magrib. Air dari talang kos menetes ke ember tua. Bau lembap bercampur debu menempel di dinding. Catnya mengelupas membentuk peta negara-negara yang tak pernah kukunjungi.

Baju kerjaku tergantung di pintu, basah separuh. Menyerah di tengah perjalanan pulang. Di meja, laptop kantor masih menyala. Aku belum menutupnya sejak sore tadi. Besok pagi, laptop ini harus kukembalikan—bersama kartu akses, lanyard biru, dan sisa identitasku sebagai karyawan. Di sebelahnya, amplop putih dengan huruf tebal: Pemutusan Hubungan Kerja – Efisiensi Internal.

Efisiensi. Kata sopan untuk menyingkirkan tanpa terlihat kejam. Aku tahu ini bukan soal kinerja. Masalahnya sederhana: aku tidak pandai mengangguk pada kalimat bodoh atau menepuk punggung orang yang memegang kunci promosi. Di kantor, itu disebut “tidak fleksibel”.

Di ruang Finance, Imam tampil rapi seperti katalog, ramah seperti brosur. Angka-angkanya mengembang manis di layar proyektor, meski dokumen aslinya hanya roti sobek berisi kapas. Tiga juta menjadi lima juta. Seratus ribu menjadi dua ratus lima puluh ribu. Semua mulus di dalam laporan.

Pernah aku selipkan dokumen asli ke meja direksi. Kupikir, kebenaran cukup datang sendirian. Ternyata, kebenaran butuh tanda tangan sebagai pengantar.

Aku yang dipanggil, diminta “memahami sistem”. Setelahnya, aku dipindahkan ke bagian logistik. Satu meja dengan tumpukan formulir dan benda-benda usang. Diturunkan sekaligus dibungkam. Mungkin.

Imam? Dia justru naik menjadi manajer operasional.

Adil. Aku bahkan kehilangan kata untuk memaknainya. Aku tahu bahwa aku ini tidak suci. Tidak pula sedang merasa lebih baik dari siapa pun.

Aku tidak iri. Aku hanya bertanya. Bukankah aku menjalankan aturan-Mu? Tidak mencuri. Tidak memfitnah. Tidak membalas hinaan, walau rasanya sudah menumpuk seperti karung di gudang. Honor tambahan selalu kubagi dua untuk Ibu di kampung, meski itu artinya makan mie instan polos tujuh malam berturut-turut.

Tuhan, kalau Kau memang melihat, kenapa Kau hanya menonton?

Setiap subuh, aku tetap duduk di sajadah yang mulai tipis. Meminta hal-hal yang sama—kesehatan Ibu, hati yang lapang, rezeki yang halal.

Namun, mengapa rasanya aku ini barang sisa lelang, Tuhan?

Siang tadi aku melihat Imam makan bersama atasan di lounge lantai atas, tempat yang belum pernah aku injak. Arlojinya baru, berkilau dengan diam yang menuntut. Aku tak tahu itu bonus proyek atau sisa anggaran, dan aku tak ingin tahu. Pahit itu menetap. Tersisa di ujung rasa tanpa kata.

Aku pernah bertanya pada rekan kerja, “Tidakkah capek hidup dengan kepalsuan?” Dia tertawa, mengaduk kopinya dengan gerakan yang kosong.

“Justru capek kalau lu jujur terus, Gas. Nggak semua orang bisa hidup idealis terus-terusan. Dunia nyata butuh fleksibilitas. Butuh topeng.”

Kata itu, topeng, terus menghantui pikiranku. Menggerogoti keimanan yang kugenggam. Menggodaku pikiran, yang lelah memikul kebutuhan.

Malam ini, aku menangis. Bukan karena kehilangan pekerjaan, tetapi karena kehilangan arah. Hujan menimpa seng di atap. Jeda di antara setiap ketukan membuka ruang bagi pikiran-pikiran yang sulit dilahirkan. Aku sadar, mungkin aku telah menatap langit yang keliru.

Tuhan, Engkau di langit yang mana? Langit yang penuh dengan wajah yang berubah, atau langit yang menutup pintu bagi mereka yang berjalan sendiri? Atau langit yang tak pernah memedulikan urusan jabatan dan gaji?

Setiap kali aku menengadah, aku ingin percaya suaraku sampai. Namun, ada keraguan tersemat dalam batin. Mungkin doaku hanya berputar di ruang kecil ini, lalu jatuh kembali tanpa arti. Dunia tak memberi jawaban, hanya memantulkan pertanyaan.

Angin malam menyibak tirai jendela, membawa aroma tanah basah. Hujan berhenti sesaat. Napas tertahan dalam sesak.

Keheningan itu bukan jawaban. Bukan juga penolakan. Aku menatap gelap, dan untuk sekejap aku gamang. Apakah langit yang kutatap adalah milik-Mu? Ataukah aku yang belum seutuhnya menemukan-Mu?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Flash
Tuhan, Engkau di Langit yang Mana?
Jasma Ryadi
Novel
Teruntuk Hamba Allah
Setya Kholipah
Novel
Yabes
Nuel Lubis
Novel
Gold
On the Way to Jannah
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Yasmin
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Temaram: Ada Cinta di Balik Cinta!
Imajinasiku
Novel
Bronze
Ayat yang Tak Terucap
DMRamdhan
Novel
Bronze
Riwayat Al-Arada
Vitri Dwi Mantik
Novel
Rain Heart
A. Noveisha
Novel
Assalamualaikum, Ustadz
Adella Kusuma
Novel
Zaidun Wa Hindun
Aviskha izzatun Noilufar
Novel
Satu Hati Dua Cinta
Yovinus
Novel
Bronze
Metamorfosa
Imajinasiku
Novel
Bronze
ASYAFA
Musdalifah
Novel
Awal dan Akhir Kisah
Arunika Chayra
Rekomendasi
Flash
Tuhan, Engkau di Langit yang Mana?
Jasma Ryadi
Flash
Tuhan, Jadikan Hariku Senin Selalu
Jasma Ryadi
Flash
Mereka Bilang Aku Setan
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Doa Uni Salamah
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Adam
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Telinga Kelima
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Jangan Ambil Uang Itu!
Jasma Ryadi
Flash
Ekuinoks
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Sore Hari Setelah Ibu Tiada
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
MCK di Ujung Kampung
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Data dan Mereka
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Rasa yang Tak Bisa Kembali
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Prenuptial Agreement: Cinta di Atas Materai
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Andai Ayah Tak Begitu
Jasma Ryadi