Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dunia saat ini terasa seperti ruang besar yang dipenuhi oleh aturan-aturan yang lahir tanpa menatap manusia secara utuh.
Mereka berdiri tegak di lembaran dokumen, ditulis dengan bahasa resmi yang dingin, seolah setiap "huruf"nya mengerti semua orang.
Tapi nyatanya, banyak dari aturan itu hanya menyentuh "kulit luar", tanpa menyentuh isi jiwa manusia yang harus menjalaninya.
Di atas meja perundingan,
Orang-orang berjas rapi membicarakan "kepetingan bersama" sambil menunjuk angka dan diagram.
Mereka sibuk memastikan sistem ini tetap berjalan, tetapi jarang ada yang benar-benar turun untuk melihat bagaimana ia bekerja di jalanan, di pasar, di sekolah-sekolah kecil, atau rumah-rumah yang pintunya mulai lapuk.
Mereka membuat keputusan seolah semua manusia adalah "sama"....
Padahal, kita semua datang dengan kapasitas yang berbeda, kekuatan yang berbeda, dan luka yang berbeda.
Aturan seperti ini sering lahir dengan pendekatan satu ukuran untuk semua. Tak ada ruang bagi perbedaan. Tak ada waktu untuk bertanya "apakah mereka sanggup?" Yang penting adalah "kepatuhan".
Asal semua mengikuti, masalah dianggap selesai.
Namun, kepatuhan tanpa pemahaman hanyalah ketaatan yang rapuh---mudah pecah ketika beban terlalu berat.
Dan ketika itu pecah, yang terlihat adalah wajah-wajah orang yang tertinggal. Mereka yang tak mampu menyesuaikan diri, perlahan tergeser ke pinggir.
Sementara mereka yang sudah diuntungkan sejak awal, melangkah ringan, bahkan semakin jauh didepan.
"Keadilan" dalam bentuk ini, berubah menjadi sekedar "formalitas"---sebuah kata indah yang kehilangan rasa.
Akibatnya jelas: "Ketimpangan bukan sekedar terjadi, tapi terpelihara. Aturan yang seharusnya menjadi jembatan, justru menjadi tembok penghalang".
Namun, jika realitasnya memang seperti itu, kita perlu bertanya---"adakah ruang bagi manusia untuk tetap bebas di dalam aturan yang dibuat tanpa musyawarah?
Jawabannya mungkin bukan sepenuhnya "ada" atau "tidak". Kebebasan itu mungkin bukan berarti melawan secara membabi buta, tapi menemukan cara untuk berjalan di sela-sela aturan, tanpa larut di dalam arusnya.
Mempertahankan keseimbangan, agar kita tidak hancur oleh sistem, dan tak kehilangan diri sendiri.
Karena pada akhirnya, aturan hanyalah kerangka. Manusia lah yang memberi "Arti" --- apakah ia akan menjadi penopang atau justru jerat....