Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kedai ini selalu lengang saat sore, ketika cahaya matahari menyusup dari jendela besar di sisi barat dan menari di atas meja-meja kayu tua. Di jam itu pula, tepat pukul tiga, ia datang. Selalu sendiri. Selalu duduk di meja yang sama: pojok dekat jendela, kursi nomor tujuh.
Lelaki itu berpakaian biasa, tak mencolok. Rambutnya kelabu, sorot matanya teduh seperti kabut pagi. Tak banyak bicara.
Pesanannya pun selalu sama.
"Satu kopi hitam. Tak usah ditambah gula."
Sebagai barista, aku sudah hafal. Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa kuterima dengan logika.
Kopi itu tak pernah habis.
Pernah sekali, diam-diam aku mengintip. Ia menyesap dari cangkir itu—gerakan kecil, penuh khidmat. Tapi ketika ia meletakkannya kembali, permukaan kopi tetap penuh. Tak menyusut setetes pun. Seolah waktu berhenti di dalam gelas itu.
"Kenapa tak pernah habis?" tanyaku pelan suatu sore, ketika keberanianku tumbuh bersama penasaran.
Ia tersenyum samar. “Karena aku tak pernah benar-benar meminumnya.”
"Kalau begitu, untuk apa kau pesan setiap hari?"
"Untuk mengisi," katanya, sembari menatap ke luar jendela. "Kopi ini bukan untuk diminum. Ia menyimpan waktu. Kenangan. Jalan pulang."
Aku terdiam. Kalimatnya terdengar seperti teka-teki yang ditulis di balik cermin. Tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku tak bertanya lebih jauh.
Sore berikutnya, ia datang dengan langkah lambat. Napasnya berat. Mata teduhnya terlihat lelah. Tapi senyumnya tetap sama.
Ia duduk, menunggu aku datang membawa segelas kopi—kopi terakhirnya.
Ketika kuletakkan di mejanya, ia menggenggam tanganku. Dingin.
"Besok," katanya, "kau yang harus mengisi."
Ia mengeluarkan sebuah kunci kecil berukir. Logamnya gelap, berat di tangan. “Letakkan kopi ini di tempat yang sama. Pukul tiga. Jangan bicara pada siapa pun yang duduk di sini nanti. Dengarkan saja.”
Lalu ia pergi.
Dan untuk pertama kalinya, tak kembali.
Besoknya, saat jam dinding berdentang tiga kali, aku mengisi segelas kopi hitam—tanpa gula. Kuletakkan di meja nomor tujuh. Di sisi jendela yang kini tertutup debu cahaya.
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan tua melangkah masuk. Matanya redup, tapi sorotnya... anehnya familiar.
Ia duduk tanpa berkata-kata. Menatap kopi itu dengan takzim.
Lalu menoleh padaku.
"Kau sudah mulai mengerti," katanya pelan. Suaranya seperti gemuruh hujan yang jauh.
Aku hanya mengangguk.
"Kopi ini," lanjutnya, "adalah jembatan. Antara yang pernah ada dan yang masih tinggal. Setiap tegukan, setiap uap, menyimpan sesuatu yang tak sempat disampaikan."
Sore itu, aku tak membuat kopi lain. Tak mencuci gelas. Tak menyalakan musik. Aku hanya mengisi segelas kopi, dan menunggu waktu kembali diseduh.