Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Self Improvement
Sebuah Jalan
0
Suka
18
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Jadi jalan ini sungguh menakjubkan, seperti di dunia dongeng yang dikisahkan menggantung di atas awan. Lalu pepohonan tertatap hijau memanjakan pandang. Jika kau berdiri di sini di musim kemarau, maka gumpalan awan bisa ditatap dari atas, bercampur dengan cahaya perak matahari sore nan elegan. Maka singgahlah sebentar untuk menyeruput air mendidih yang kedinginan. Sekalipun kau minum, cairan yang masih mengepulkan asap dari termos khas zaman nenek moyang itu tidak sanggup buat bibirmu melepuh.

Penduduk di sini seperti penghuni surga, ramah-tamah tiada yang cemberut apalagi jika berpapasan dengan kaum asing serupa saya. Mohon maaf saya memang datang dari kota penuh gemerlap cahaya, gedung-gedung tinggi peraih permukaan langit, dan jalannya yang riuh di tengah kota ditancapi monumen tugu pahlawan. Lokasi yang kaya dengan kolam renang buatan manusia, berbeda dengan wilayah yang saya datangi ini, air mengalir dari puncak gunung, menciptakan kelokan meliuk-liuk yang disebut sebagai sungai kehidupan. Anak-anak kecil lompat dari atas tebing. Airnya jernih dan dingin. Sungguh surgawi dunia, apalagi jikalau kaum ibu baru saja menggendong hasil bumi. Cantik dan tampil mempesona. Pipi yang dibedaki tanah, kulit yang di-lotion pupuk kandang, dan jari kaki yang diselipi lumpur. Aroma tubuhnya tak sewangi melati, tetapi lebih utama dari itu, keringat masam sebagai bukti perjuangan manusia lain supaya tetap hidup. Hasil panennya akan digiring ke kota, bukan kejar kemapanan, bukan pula ingin curi kejayaan, cukup untuk beli sekolah, biaya renovasi rumah dan menaikkan kendaraan sederhana ke kaki gunung. Begitu lugu dan lucu, sementara bangunan rumah di sini begitu kontras. Ada yang mewah melewati batas kaum pegunungan—sampai menyerupai mahalanya apartemen, ada yang nyaris doyong jika ditiup angin gunung. Perbedaan itu bersanding dengan nyaman. Sekalipun saya pastikan sesekali ada yang melirik penuh takjub, ada yang meminggirkan perasaan karena minder.

Saya harus bergegas karena urusan yang tidak perlu dijelaskan ini menunggu penuntasan. Maka sepeda motor saya pacu pelan lagi mendaki jalan terjal penuh gelombang. Kerikil mencuat dari permukaan bumi, seperti sebuah kulit yang sebagian titiknya terkena luka goresan dan membentuk koreng. Maka jalan-jalan itu laiknya kulit manusia yang terluka. Sesekali aku

Ada pertanyaan panjang yang berkeliaran di kepala ketika menyaksikan pinggiran jalan di bangun trotoar, sementara di pelosok kampung—pada dusun penuh kabut yang atap rumahnya nyaris menyentuh pucuk langit, justru berkericak diapit tebing tinggi dan jurang curam. Siapa yang sebenarnya layak menjejak di atas trotoar? Bukankah orang kota telah sepakat membiru waktu dengan mengendarai kecepatan masing-masing? Bahkan klakson merah pernah diabaikan.

Jantung ini terpacu penuh debar. Bukan lantaran saya akan datang ke rumah orang yang sedang menanti kedatangan saya, bukan! Bukan lantaran ada giveaway gratis dari artis ternama, juga bukan! Apalagi uang kaget yang diharapkan kepala kosong.

“Kemari, Mbak. Mampirlah sebentar!” Begitu ucapan penduduk asli yang dibalut jaket tebal. Padahal dia tidak sedang bepergian, jaketnya berbulu hangat, memiliki warna serupa bulu angsa. Lebih mahal ketimbang kain yang saya kenakan. Dia pria separuh tua, kantung matanya menyimpan kerut senja. Sementara suaranya, entah mengapa begitu serak padahal dia tampil baik-baik saja. Tangannya bergerak menuangkan bensin dari botol bekas miras yang labelnya telah dibuang.

“Mampir sebentar, nunggu hujan reda.”

Bahkan untuk sekadar mampir saya tidak berani mengiyakan, sekalipun memang ingin. Alasannya saya tidak mau ketagihan bersandar di kampung berawan penuh gigil. Bagaimana jika ada hangat lantas membuat saya berpaling dari perkotaan?

Jalan ini, tidak bisa saya lupakan. Gemetar jantung membuat saya urung pulang, bulan karena kerasan, tetapi bingung mencari keberanian yang terjun ke lembah jurang hitam itu. Apalagi langit yang menggantung di atas kepala telah gelap. Jurang tidak ubahnya karpet hitam yang ditumpuki kapas putih. Jika lampu kendaraan tidak menyorot terang, maka alamat alam lain memanggil tanpa pertimbangan. Saya tentu gentar menghadapi jalan gelap tanpa teman di belakang. Kepulangan mengantar teman akrab dari tempat kerja, menjadi rumit lantaran tangan mendadak tremor. Dalam benak, saya banyak menggumam, ‘mengapa ada jalan semengerikan ini.’ Faktanya memang keluar dari nalar pikir. Jika hujan turun deras bersama petir, kampung-kampung yang mengular sejauh jalan ini akan meringkuk kedinginan. Tidak ada orang berani berangkat ke ladang, petani akan bergegas pulang.

Saya berpikir panjang, mungkinkah belum ada dana pemerintah yang dialokasikan untuk memberi pengaman di jalan ini? Jika di kota trotoar dibangun senyaman mungkin dengan keramik warna-warni, bentuk yang berupa-rupa, lalu bagaimana di tempat yang begitu dekat dengan ancaman maut ini?

Ini merupakan pengalaman yang rasanya tidak mau diulang. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku bisa lari dari jalan-jalan ini jikalau profesiku tahun sekarang dan seterusnya adalah pengantar paket-paket kehidupan? Temanku baru saja tiba di rumahnya, sebuah bangunan dari bebatuan dengan adonan semen yang telah keras—teman yang kerap diakrabi oleh pengantar pesanan.

Magelang, 10 Januari 2025.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Flash
Sebuah Jalan
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Berkah
Titin Widyawati
Novel
Elvaria Genesis
Nagami Sena
Novel
In My 27th Silent Era
kound
Flash
Mengurai Beban
Asep Saepuloh
Flash
Tidak Semua Harus Dimiliki
Asep Saepuloh
Novel
Yang tersembunyi dalam luka
Asep Saepuloh
Flash
Ketika Diam Menjadi Rumah
Asep Saepuloh
Cerpen
Bronze
MADILOG: Jalan Sunyi Si Pemikir Muda
Dede Nurrahman
Flash
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Penulis N
Flash
Kesunyian mawar merah
sk_26
Cerpen
Bronze
FOCUS GROUP DISCUSSION
Ardian Agil Waskito
Flash
Kehidupan Sederhana Yang Tidak Sia-sia
Asep Saepuloh
Flash
Ku usahakan yang Terbaik untuk mu
Smith
Flash
Tenang Tanpa Harus Sepi
Asep Saepuloh
Rekomendasi
Flash
Sebuah Jalan
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Berkah
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Jarum-Jarum di Dadamu
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Pelangi Transparan
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Nasib Ratusan Bumi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Surat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Maut di Kali Loning
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Selimut Tidak Pernah Kering
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Sejuta Pertanyaan Wanita
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Suara-suara Aneh
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Pertemuan dengan Takdir
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Dirimu dan Penunggu Hal-Hal Pergi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Payung Hitam
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Gagal Sembunyi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Pelanggan Terbaik
Titin Widyawati