Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Bagaimana Jika Aku Menjadi Umbi-Umbian?
0
Suka
122
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Amara tahu dunia tak lagi luas sejak paru-parunya menyusut. Fibrosis pulmonal bukan hanya mengikis napas, tetapi juga hari-hari yang seharusnya ia habiskan di sekolah. Tertawa bersama teman, atau sekadar merasa remaja biasa. Ia tak bisa melakukannya lagi. Rumah menjadi dunia satu-satunya. Langit pun hanya terlihat dari sela jendela.

Ia mengisi waktu dengan menulis di sebuah forum daring, menggunakan nama thefallingleaf. Di sana, ia bercerita tanpa nama, tentang rasa sepi, ketakutan akan dilupakan, dan pertanyaan sederhana: “Apa yang tersisa dari seseorang setelah jasadnya tertanam di tanah?”

Salah satu yang membaca tulisannya adalah galacticspace, pemilik akun anonim lain yang tak pernah mengira hidup seseorang bisa setenang itu dalam guratan-guratan kesedihan.

David, pria di balik nama galacticspace, adalah siswa SMA populer: tampan, cerdas, kapten tim basket. Teman dan penggemar selalu mengelilinginya. Namun, hidupnya terasa kosong di tengah sorakan.

Ia mulai merenung: apakah riuh yang ia terima karena siapa dirinya, atau hanya kulit luar yang dilihat orang? Bagaimana seandainya ia hanya siswa biasa yang tidak memiliki privilege atau keahlian apa pun? Mungkinkah masih ada ramai yang akan menyapanya setiap hari di sekolah?

Postingan-postingan dari thefallingleaf menghantamnya pelan. David membalas melalui pesan pribadi, memberanikan diri mengenal sang pemilik akun.

galacticspace: “Hai, apakah kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu sedang berbicara mengenai sesuatu yang dalam.”

(David menunggu balasan. Cukup lama. Ia membaca lagi kata demi kata yang ia rajut. Mungkin kurang sopan. Atau terlalu ingin tahu. David ingin menarik pesannya, tetapi titik tiga muncul dan bergerak di kiri bawah layar.)

thefallingleaf: “Kadang, aku merasa kalau aku mati besok, tak akan ada yang sadar. Seolah aku cuma bayangan yang numpang lewat di dunia ini.”

galacticspace: “Mengapa kamu berpikir seperti itu?”

thefallingleaf: “Aku terisolasi oleh tubuhku. Sepi terlalu nyaman berada di sisiku.”

galacticspace: “Maaf. Aku tidak mengerti. Tapi bagaimana pun kamu, siapa pun kamu, kamu pasti sangat berarti bagi orang-orang yang menyayangimu. Dan mungkin mereka tidak selalu menunjukkannya dengan ucapan.”

(David mengetik, lalu menghapus. Lalu mengetik lagi. Ia membaca ulang kalimat itu. Terdengar sedang menenangkan seseorang, padahal sebenarnya menenangkan dirinya sendiri.)

thefallingleaf: “Dulu aku punya teman. Kini, semuanya telah pergi. Bukan karena mereka jahat, tapi karena aku perlahan menghilang.”

galacticspace: “Kalau begitu, mulai hari ini, aku bisa jadi temanmu. Kalau boleh tahu, kamu sekolah di mana? Siapa namamu?”

(David menekan enter, lalu merasa bodoh. Siapa dia, menawarkan diri jadi teman orang asing?)

thefallingleaf: “Bagaimana jika aku hanya memiliki waktu satu atau dua hari saja? Kamu akan jadi teman dari seseorang yang tidak meninggalkan kenangan, selain cerita kehilangan. Aku takut meninggalkan luka di orang yang sebenarnya belum cukup lama mengenal aku.”

galacticspace: “Kadang, bahkan hal kecil bisa jadi kenangan. Seperti kata-kata yang menyentuh hati, walau tanpa gema.”

Indikator mengetik dari thefallingleaf masih menyala. Akan tetapi, tak juga memunculkan balasan.

David menunggu. Menekan refresh. Berkali-kali.

Akun itu pamit tanpa permisi. Hanya menyisakan jejak aktif lima menit yang lalu.

David membuka pesan terakhir, membaca ulang, mencari tanda-tanda yang mungkin terlewat.

Masih sunyi. Tidak ada balasan. Tidak ada penjelasan. Malam pun menutup dirinya rapat-rapat.

***

Suatu sore, tanpa mereka tahu, mereka bertemu di halte bus Citra Raya. Amara tertatih membawa totebag dan tabung oksigen kecil di tangannya. David baru selesai latihan. Ia mengenakan cardigan di atas seragam olahraga.

Amara duduk. David ikut duduk. Hening. Pandangan mereka bertemu sesaat. Tak saling sapa, hanya senyum sopan yang singkat.

Namun, di dalam dirinya, David merasa ada sesuatu yang tidak asing dari gadis itu. Matanya tenang, tetapi lelah. Ada napas pendek yang mengalun tekun, menyerupai tulisan-tulisan yang selama ini ia baca.

Ada ragu yang menebal. David tunduk pada ketidakberanian untuk menyapa. Takut salah, takut mengganggu.

Hari berikutnya, mereka bertemu lagi. Amara menjatuhkan tabung oksigennya. David segera menolong dengan sigap. Kali ini, takdir seakan menyodorkan kata.

 Mereka naik bus yang sama. Percakapan pun terjadi. Ringan pada awalnya, tentang buku, tentang cuaca, tentang sekolah. Namun, saat bus berbelok menuju area perumahan, Amara berkata:

“Aku merasa hidupku sudah di ambang batas. Dan aku bukan takut menghadapi kepergianku, tapi siapa yang akan mengenangku selepas aku tiada. Seolah aku cuma lewat, bagaikan angin yang tidak sempat dipanggil namanya. Atau hanya umbi liar yang tidak memberikan manfaat.”

David terdiam. Ia ingin menjawab, tetapi ada banyak kalimat yang berkumpul di pikiran. Setiap kalimat terasa salah, terlalu tajam atau terlalu lemah.

Ia menunduk sesaat. Ada rasa yang ingin ia sampaikan, tetapi belum menemukan bentuk yang tidak menyakitkan. Mencoba menyelamatkan kerapuhan yang mengambang di depan mata.

Akhirnya, ia berujar, “Mungkin kita tidak perlu jadi bintang. Cukup jadi cahaya kecil yang sempat terlihat.”

Amara tersenyum. Senyum yang tipis sekali. Mengingatkan pada daun kering yang jatuh tanpa suara.

Amara turun. Ia menoleh kepada David. Setelah itu, ia memberikan anggukan kecil.

David ingin melambaikan tangan. Namun, pandangannya mendapati tulisan yang menempel di tas jinjing Amara. Tulisan yang tersingkap di balik tangan dengan huruf menyatu: thefallingleaf.

Bus melaju. David baru sadar. Terlambat.

Malamnya, ia menghubungi thefallingleaf. Bertanya, mengajak bertemu di luar kebetulan.

Tak ada balasan. Senyap.

Hari berganti minggu. thefallingleaf tak lagi aktif. David diburu rasa penasaran. Ia lantas menelusuri langkah yang membekas dalam benak.

Ia berkeliling, memperhatikan setiap rumah. Berharap gadis yang dicarinya duduk di teras atau keluar dari pagar.

Langkah David terhenti pada sebuah rumah bercat putih. Pot-pot tanaman hiasan menggantung indah. Satu tanaman menghentak pandangannya. Ubi jalar dengan daun merambat ke dinding dan akar yang lebat. Bukan karena tanaman tersebut tak biasa digunakan sebagai dekorasi rumah, melainkan karena ada kesamaan dengan foto terakhir yang diunggah oleh thefallingleaf, dengan caption kosong.

David mendekat. Tangannya bersiap menekan bel.

Tiba-tiba ada yang memanggil namanya.

“Vid, lu ngapain di sini?” tanya Rafael, rival basket David.

“Gue… gue… lagi nyari seseorang.”

Rafael menatapnya. “Amara?”

David tak mengangguk. Tak juga menggelengkan kepala.

“Dia udah meninggal minggu lalu,” jelas Rafael.

Kaku. Bisu. Tubuh David merinding. Ia berdiri cukup lama di depan rumah Amara. Ada penyesalan yang merayap, seperti datang ketika waktu menunggu telah usai.

David pulang dengan perasaan hampa. Ia rebahkan badan di kasur sambil membuka beranda thefallingleaf. Bait-bait sepi mengalun syahdu menembus layar.

David kemudian menulis:

“Kita semua ingin diingat, bahkan oleh orang yang tak pernah menyebut nama kita dengan suara.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
MANTAN IBU KOTA
Mahliana
Flash
Bagaimana Jika Aku Menjadi Umbi-Umbian?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Bias Lukisan dalam Sangkar
Larasatijingga
Novel
KPR (Kapan Pindah Rumah?)
Annisa Diandari Putri
Skrip Film
Cinta Diwaktu Itu
Syeihan Gus Sajad
Skrip Film
ITTE(KATAKAN)
Damar febriansyah
Skrip Film
[Bukan] Cinderella
Desi Restiana A
Cerpen
Bronze
Anjing Tak Bisa Bicara
Agus Fahri Husein
Cerpen
Porter Kereta
Cicilia Oday
Cerpen
SUARA TERAKHIR
Nur Khalisa Pratiwi
Novel
Di Daun Yang Jatuh Itu Tertulis Namamu
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Skrip Film
A15 - A16
Liz Lavender
Flash
Harapan Baru
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Dari Bully Menjadi Prestasi
Siti Nashuha
Cerpen
Bronze
Langit Tak Pernah Ingkar Janji
Ayub Wahyudin
Rekomendasi
Flash
Bagaimana Jika Aku Menjadi Umbi-Umbian?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Hasnah dan Debur Ombak
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Semangkuk Mie Ayam Sebelum Mati
Jasma Ryadi
Flash
Gerimis yang Percuma
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Rasa yang Tak Bisa Kembali
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Sore Hari Setelah Ibu Tiada
Jasma Ryadi
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Flash
Mereka Bilang Aku Setan
Jasma Ryadi
Flash
Ikan adalah Luka
Jasma Ryadi
Flash
Senja yang Dilepas
Jasma Ryadi
Flash
Arisa
Jasma Ryadi
Flash
Aku dan Sebatang Rokok di Tangannya
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mereka yang Masih di Dalam
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Gamophobia
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Data dan Mereka
Jasma Ryadi