Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Sementara Pulang
3
Suka
126
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Jumat malam, gue tiba di stasiun dengan langkah yang biasa tenang, tapi cepat. Tas kecil disampirkan di punggung, isinya seadanya: dompet, charger, buku bacaan, dan sisa lelah dari lima hari kerja. Tak ada koper besar, karena di rumah masih banyak baju yang menggantung rapi, belum disentuh sejak terakhir pulang. 

Di gerbong yang dingin, gue duduk dekat jendela, memandangi malam yang berlarian ke belakang. Jalanan, rumah-rumah kecil, lampu merah yang tetap menyala semua terlihat akrab, seolah menunggu kedatangannya. 

Sampai di rumah, langit sudah pekat. Ibu sudah tidur lebih dulu. Tapi ruang tengah masih menyala, ayah duduk di sofa tua, menonton berita dengan volume dikecilkan. Seperti tahu anaknya akan pulang malam ini. 

Tak ada peluk, hanya anggukan kepala dan pertanyaan pendek, “Udah makan?” Gue menjawab dengan singkat. Lalu duduk berseberangan, dan kita berdua diam sebentar. Bukan canggung, lebih ke nyaman tanpa perlu banyak kata.  

Di sela jeda itu, ayah berkata, “Motormu masih tak panasin tiap pagi.” Dan gue hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, rasa hangat pelan-pelan naik ke dada.  

Tapi tetap, gengsi lebih besar daripada rindu. 

Sabtu pagi datang dengan tenang. Udara kampung halamannya masih segar, lebih jujur daripada AC di kosan. Ibu memasak sarapan nasi goreng dengan potongan sosis, menu yang tidak berubah sejak SD.  

Gue duduk di ruang makan, melihat ibunya mondar-mandir di dapur, lalu memindahkan teh manis ke cangkir favoritnya. Ayah sedang di halaman, menyapu daun-daun mangga yang jatuh semalaman. Gue sempat menatap dari jendela. Ayah tetap orang yang sama diam, tapi penuh perhatian dalam bentuk paling sederhana. 

Siangnya, gue mengendarai motor tua ke barbershop andalan. Tempatnya sekarang lebih modern, cat hitam matte di dinding, cermin besar dengan lampu LED di pinggirannya, dan alunan musik indie pelan-pelan mengisi ruang. Aroma pomade dan kopi hitam bercampur di udara. 

Tukang cukurnya masih orang yang sama. Bedanya, sekarang lengannya dipenuhi tato gambar gunung, bunga, dan jam pasir. Rambutnya dicukur rapi, jenggot tipis ditata. Ia menyambut dengan senyum lebar, “Wah, akhirnya lo nongol juga. Lama nggak kelihatan, Bro.” 

Ia duduk di kursi, diselimuti kain potong hitam. Cermin di depannya menampilkan wajah lelah, tapi ada sedikit lega. 

“Sama kayak dulu aja ya, tipis samping, sisain atas.” 

Potongannya dimulai. Obrolan ngalir begitu saja tentang kerjaan, Jakarta yang makin panas, dan teman-teman mereka yang udah sibuk masing-masing. 

Di sela suara clipper dan musik latar, ia sadar, potong rambut di sini bukan sekadar soal gaya. Ini tentang rasa pulang yang lain. Tentang seseorang yang tetap ingat bentuk kepala dan cerita hidupnya. 

Malamnya, gue janjian dengan dua teman lama. Mereka bertemu di coffee shop baru, tempat yang dulu belum ada saat kita masih SMA.  

Interiornya modern, tapi percakapan mereka tetap klasik, membahas kuliah yang tertunda, kerjaan yang bikin stres, dan mantan yang sudah nikah duluan. Sambil sesekali menyeruput latte yang terlalu mahal, mereka tertawa pelan, menyadari bahwa hidup memang tak selalu sesuai rencana.  

Tapi malam itu, semua terasa cukup. Tidak ada foto yang diambil, hanya memori yang diam-diam mereka simpan. 

Minggu datang terlalu cepat. Siang dihabiskan dengan beres-beres sebentar, dan makan siang masakan Ibu. Ayah duduk tak jauh dari meja, membaca koran yang sudah lecek.  

Menjelang sore, ia bersiap kembali ke stasiun. Ayahnya mengantar sampai pagar, lalu diam-diam menyelipkan satu botol air minum ke dalam tas kecilnya. “Kalau capek, minum. Jangan kebanyakan ngopi,” katanya tanpa menatap langsung.  

Mereka salaman, erat, singkat, dan dalam. Di hati mereka berdua, pasti ada yang nggak mau saling berjauhan. Tapi gengsi terlalu pandai menyembunyikan rindu. 

Kereta malam berangkat lagi. Di jendela, ia melihat bayangan sendiri, lalu perlahan kota kecil itu hilang ditelan gelap. Suara ayahnya masih terngiang, sisa aroma nasi goreng ibunya belum benar-benar hilang, dan rambutnya terasa lebih rapi dari biasanya.  

Ia tahu, pulang kali ini cuma dua hari. Tapi itu lebih dari cukup, cukup buat isi ulang hatinya yang mulai kosong oleh hari-hari yang terlalu cepat di ibukota. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Luka Tanpa Asa
Aijin Isbatikah
Flash
Sementara Pulang
Neil E. Fratér
Novel
FRATERNAL
Lisna W Amelia
Skrip Film
Broken Home [Skrip Film Pendek]
Diyanti Rita
Flash
Bronze
Seperti Menunggu Kue Matang
AlifatulM
Flash
Jojo dan Jeje
Hary Silvia
Komik
Age Is Just A Number
edokomikecil
Skrip Film
Terjal
Ign Joko Dwiatmoko
Cerpen
Bronze
Di Balik Pintu Kamar Nomor 2
Dandy Ramadan
Novel
Bronze
Entitas Selembar Kertas
Nurvi Selvi
Novel
Bronze
Jejak Perempuan yang Pergi pada Suatu Masa
Alfian N. Budiarto
Novel
Bronze
Bad Relationship
Fitri Lailyah
Skrip Film
A15 - A16
Liz Lavender
Flash
Luka
Alunaputri
Flash
Bulan Terbelah
Chin Pradigta
Rekomendasi
Flash
Sementara Pulang
Neil E. Fratér
Flash
Dari Sini, Semua Terlihat Sibuk
Neil E. Fratér
Flash
Ulang Tahun di Kilometer 130
Neil E. Fratér
Novel
Ken Hartigan
Neil E. Fratér
Flash
Arah Tujuan Mana Yang Ingin Diraih?
Neil E. Fratér