Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tawaran itu menggantung di udara, dingin dan tak tersambut. Bos baru saja menawarkan rute milik Pak Amir, sopir senior yang hendak pensiun, tetapi tak seorang pun di ruangan itu bergeming. Para sopir kawakan yang biasanya paling cepat berebut trayek basah kini serempak menolak. Dalih mereka beraneka ragam: jalurnya terlalu berat, medannya gelap, dan berbagai alasan lain yang terdengar seperti dibuat-buat. Bahkan iming-iming gaji dua kali lipat tak sanggup menggoyahkan pendirian mereka.
Di tengah keheningan itu, hanya aku yang mengangkat tangan. Aku, sopir yang baru sebulan bekerja, butuh uang itu untuk membelikan seragam sekolah Anisa, putriku.
Saat Pak Amir menyerahkan kunci bus kepadaku, tatapannya terasa ganjil. Ia menepuk pundakku pelan. "Hati-hati, Nak. Jangan sampai salah bus," pesannya singkat. Aku hanya tersenyum tipis, menganggapnya nasihat orang tua yang sedikit janggal. Bagaimana mungkin aku salah bus? Kunci ini hanya cocok untuk satu armada.
Malam itu, dengan hati riang, aku melangkah menuju bus yang terparkir di ujung. Bayangan senyum Anisa saat mencoba seragam barunya memberiku semangat. Aku memasukkan kunci, dan mesin tua itu pun menyala. Lampu depan menyorot redup, membelah kegelapan peron yang kosong.
Satu per satu penumpang naik. Anehnya, tak ada satu pun yang bersuara. Mereka semua duduk dalam diam. Keheningan yang pekat dan tidak wajar menyelimuti kabin. Tepat pukul sembilan malam, aku menutup pintu. "Kita berangkat, Bapak, Ibu," sapaku mencoba memecah kesunyian. Tak ada sahutan.
Awal perjalanan terasa biasa saja. Aku memutar radio untuk mengusir kantuk. Namun, keanehan pertama mulai terasa saat bus memasuki kawasan hutan jati. Tiba-tiba, bus yang melaju terasa jauh lebih berat, seolah puluhan orang baru saja naik, padahal aku tidak berhenti sama sekali. Mesin yang tadinya meraung normal kini terdengar seperti tercekik, menanggung beban tambahan.
Bulu kudukku meremang. Pendingin udara yang tadinya sejuk kini terasa menusuk tulang. Aroma aneh mulai menguar, campuran antara wangi bunga melati dan bau tanah basah yang anyir. Dengan jantung berdebar, aku memberanikan diri melirik spion tengah.
Benar saja. Semua kursi yang tadinya kosong kini terisi penuh.
Napasku seakan berhenti tatkala semua penumpang serempak menoleh, menatap lurus ke arahku. Wajah-wajah mereka pucat laksana kertas, dengan cekungan hitam pekat di bawah mata yang kosong. Seorang ibu di baris depan menyeringai, menampakkan bibirnya yang membiru dan robek di sudut. Tak ada suara, tak ada bisikan. Hanya keheningan absolut yang memekakkan telinga.
Rasa takut yang luar biasa mencekikku. Aku harus selamat demi Anisa. Kuinjak pedal rem sekuat tenaga, tetapi bus itu justru melaju semakin kencang, seolah memiliki kehendaknya sendiri.
Dengan sisa keberanian, aku membuka paksa pintu di sisi kemudi dan melompat keluar. Tubuhku menghantam aspal dengan keras. Bahuku terasa remuk, tetapi setidaknya aku selamat. Dari kejauhan, aku melihat bus itu terus melaju tanpa kendali, sebelum akhirnya lenyap ditelan kegelapan malam bersama wajah-wajah mengerikan di dalamnya.
Di tengah jalanan sepi, sakuku bergetar. Ponselku. Dengan tangan gemetar, aku menjawab panggilan masuk.
"Halo?" suaraku parau.
"Kamu di mana?! Ditunggu dari tadi, penumpang sudah mengomel semua!" Suara Pak Santoso, mandor terminal, terdengar panik bercampur kesal. "Kenapa kamu telat?"
"Hah? Saya sudah berangkat dari tadi, Pak," jawabku, bingung.
"Berangkat bagaimana? Ini bus-mu masih terparkir rapi di peron tujuh. Mesinnya bahkan belum menyala!"
Darahku seakan berhenti mengalir. Ponsel itu terlepas dari genggamanku, jatuh ke aspal tanpa suara. Aku menatap jalanan gelap di hadapanku, tempat bus tadi menghilang.
Jika busku masih di terminal, lantas... bus apa yang baru saja kukendarai?
END