Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku bangun pagi dengan kepala berat, mata masih merah, dan alarm yang sudah berbunyi lima kali.
Hari ini seperti kemarin. Dan seperti besok.
Aku duduk, melipat tubuhku sendiri sambil berpikir: "Hari ini kerja jam berapa ya? Eh, aku udah kerja atau belum sih?"
Kopi jadi penyelamat. Atau setidaknya, jadi alasan untuk terlihat waras.
Tugas, chat kerja, notifikasi, spreadsheet, dan senyum palsu, semuanya sudah siap menungguku dari layar kecil yang katanya pintar, padahal menyita nyawa pelan-pelan.
"Aku capek," kataku pelan. Tapi hanya ke diri sendiri.
Karena kalau diucapkan keras-keras, biasanya dibalas dengan,
"Yaa... namanya juga hidup."
"Semangat, bro. Udah mau weekend kok."
"Bersyukur dong, masih punya kerjaan."
Oh iya. Lupa.
Lelah itu normal.
Burnout itu bagian dari pertumbuhan.
Katanya.
Aku ingat saat pertama kali masuk kerja, aku antusias. Serius.
Bangga bisa kerja sambil sakit. Senang dipuji “dedikasi tinggi” karena masih ngoding padahal demam. Waktu itu aku kira, makin sibuk berarti makin sukses. Makin padat, makin keren.
Ternyata, makin lama aku sibuk, makin jauh aku dari diriku sendiri.
Pernah suatu malam, aku nangis sambil buka spreadsheet.
Bukan karena sedih. Tapi karena lupa kenapa aku buka spreadsheet itu.
Aku terlalu banyak mengiyakan, terlalu takut mengecewakan.
Sampai akhirnya tubuhku yang marah duluan.
Jantung berdebar, kepala pusing, pikiran gelap, dan suara kecil dalam hati mulai berani bertanya: “Kenapa sih kamu nggak berhenti aja sebentar?”
Tapi lagi-lagi, suara lain membalas:
“Nanti kelihatan lemah.”
“Nggak semua orang bisa punya kesempatan kayak kamu.”
“Lo laki-laki. Masa manja?”
Ah, benar.
Lelah itu normal.
Akhirnya aku memutuskan untuk istirahat. Sementara. Katanya.
Cutiku diisi rasa bersalah. Bangun siang bikin cemas. Tidur nyenyak malah dihantui mimpi deadline. Bahkan waktu nonton film, aku masih ngecek notifikasi Slack.
Waktu istirahat yang katanya untuk healing, malah jadi ajang mikir:
“Apa gue keterlaluan?”
“Apa gue egois?”
Tapi di sela-sela itu, aku mulai melihat ulang hidupku.
Ternyata, sudah lama aku hidup tanpa benar-benar hidup.
Sudah lama aku pura-pura baik hanya karena takut dianggap lemah.
Sudah terlalu sering aku bilang "nggak apa-apa" sambil nahan napas.
Dan mungkin… mungkin banget…
Aku cuma manusia biasa yang lelah.
Dan itu bukan dosa.
Jadi sekarang, aku belajar satu hal:
Kalau ada orang bilang dia capek, jangan buru-buru nasihatin.
Kadang dia cuma mau didengar.
Dan kalau kamu sendiri yang capek, jangan buru-buru merasa bersalah.
Karena kadang, berhenti itu bukan kemunduran. Tapi keberanian.
Hari ini, aku masih belajar.
Belajar bilang "nggak", belajar istirahat tanpa merasa gagal,
Belajar bilang “aku butuh waktu”—tanpa takut dihakimi.
Karena mungkin, justru di situlah letak kekuatan sebenarnya:
Berani jujur… bahwa aku lelah.
Dan itu bukan kelemahan.
Itu manusiawi.
Dan semanusiawi-manusianya manusia,
Boleh kan...
Lelah?