Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jon baru saja mati kemarin. Kini ia harus bangkit lagi di kamar pendingin penyimpan mayat di suatu rumah sakit. Kepalanya pening. Ia meraba perutnya perlahan. Sensasi benang jahit terasa ganjal menyulam kulitnya.
"Jadi, korban kemarin meninggal dunia karena..." Dua orang dokter perempuan memasuki kamar itu dan bertemu mata dengan Jon.
Mereka semua mematung.
"Hm... Rumah sakit mana ini?" Tanya Jon.
"Sei, panggilkan satpam di depan." Bisik seorang dokter bernama Maria.
"Maaf, tidak perlu. Saya tidak ingin melakukan kekerasan yang tidak perlu." Ancam Jon. Ia berdiri dari tidurnya mengambil sikap bersiap untuk melompat. "Harusnya kalian sadar, melihat mayat hidup itu sudah di luar nalar. Kalian harusnya lebih punya akal."
"Akal?" Protes Sei. "Bahkan bukan kamu saja yang pernah kami lihat hidup lagi."
"Hah?" Jon terbelalak. "Serius?"
"Ngomong apa sih Sei..." Bisik Maria.
"Sudah... Diem aja. Aku yang ngatur." Sei maju selangkah. "Kamu mau tahu?"
"Tentu saja!" Jon kembali duduk. Sei mendekatinya dan mengambilkan pakaian yang ada di situ.
"Jadi, kamu adalah korban atau pelaku?"
Jon tertawa lepas. Ia menyandarkan kepalanya pada tangannya. Bertumpu pada lutut dan mulai mengoceh.
"Aku sudah ada sejak 500 tahun yang lalu. Sudah banyak misi yang kulakukan. Dan kalau kamu bertanya soal korban dan pelaku, aku bisa keduanya. Tetapi untuk saat ini, aku adalah korban."
"Oh ya? Atas apa?" Maria mulai merasa tertarik dengan obrolan mereka.
"Ah, aku tertangkap di Kamboja. Perdagangan manusia."
"Bagaimana aku bisa percaya?" Tanya Sei.
"Tubuhku yang sudah tidak memiliki organ dalam ini, tidak bisa kalian percaya?" Jon kembali tertawa lepas. "Anak-anak zaman sekarang mengalami kemunduran. Kalian tidak ada bedanya dengan orang-orang yang kutemui ratusan tahun lalu. Mereka selalu menginginkan bukti di depan mata. Dasar filsafat kuno."
Sei dan Maria saling tatap.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Maria. Ia telah berhasil menuliskan pesan pada teman-temannya secara diam-diam. Sei berusaha mengalihkan perhatian Jon dengan memberinya biskuit.
"Yang kulakukan? Tidak ada. Berusaha hidup hingga ratusan tahun ke depan."
"Ah, tidak seru!" Balas Sei.
"Apa maksudmu?" Maria menyenggol Sei. Berusaha memberi isyarat untuk tidak memperburuk keadaan.
"Oh, anak kecil mau memberi nasihat. Coba berikan aku nasihat itu."
"Entah kamu mayat hidup, zombie atau vampir, tetapi menghabiskan waktu untuk hidup seenakmu itu tidak seru."
"Oh, ya? Lantas apa yang seru?"
"Ya, buat dunia ini lebih baik lagi."
"Buat lebih jelas." Nada suara Jon berubah. Terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
"Ya, apa pun. Memberantas korupsi misalnya."
"Dengan membunuh mereka semua?" Sei dan Maria terdiam. "Aku bisa membakar rumah sakit ini jika perlu. Aku bisa keluar hidup-hidup sekarang juga. Jika untuk membuat dunia lebih baik, tidak pernah akan ada. Manusia memang selalu egois dengan dirinya."
"Termasuk dirimu?" Maria mencoba mencairkan suasanya. Jon meminta semua biskuit milik Sei. Ia memberikannya.
"Ya, aku juga manusia. Walau sedikit berbeda."
"Jadi tidak ada harapan?" Tanya Sei.
"Mustahil. Aku hidup untuk menunggu mati. Maka selama aku hidup, Tuhan mengizinkanku melihat kehidupan manusia terus menerus. Tidak ada perubahan sejak 500 tahun yang lalu. Perang. Pembunuhan. Saling mengambil keuntungan. Semua seperti itu."
"Kau tidak percaya pada kami?" Maria mendapatkan pesan dari teman-temannya. Mereka akan segera datang.
Jon tertawa lepas lagi untuk kesekian kali.
"Aku sudah tahu rencana kalian. Jadi... Untuk apa percaya? Kalian pikir keahlianku cuma hidup kembali. Aku akan menunggu teman-temanmu. Dengan begitu, aku bisa membunuh kalian semua sekaligus. Itu lebih mudah."
Merasa terpojok. Maria dan Sei langsung lari menuju pintu. Mereka keluar dari ruang mayat itu meninggalkan Jon sendiri.
Senyumnya penuh kemenangan. Kini ia hanya perlu mencari organ-organ baru untuk menyambung hidupnya.